1. Egois sebelum berbagi
Kekuatan untuk memiliki adalah bagian alami dari pertumbuhan kesadaran anak. Selama tahun kedua dan ketiga, dimana anak-anak mulai belajar soal keterpisahan, anak-anak membuat sebuah identitas terpisah dari ibunya. "aku melakukannya sendiri!" dan "itu milikku!"hal ini kerap diucapkannya. Bahkan, "milikku" menjadi satu kata paling awal yang keluar dari mulut balita.
Anak tumbuh mengembangkan keterikatan akan hal-hal serta orang-orang. Kemampuan untuk membentuk ikatan yang kuat adalah penting agar menjadi orang yang sehat secara emosional. Anak berusia satu tahun akan kesulitan 'membagi' ibu nya, anak usia dua tahun mengalami kesulitan membagi boneka beruang kesukaannya. Demikian pula, beberapa anak begitu lekat pada mainan bahkan boneka tua compang-camping karena telah menjadi bagian dari diri anak. Ketika diminta untuk menggambar dirinya sendiri, anak usia empat tahun akan selalu menyertakan bonekanya - seolah-olah itu adalah bagian dari tubuhnya. Dapatkah Anda bayangkan, ketika anak diyakinkan untuk berbagi boneka dengan teman bermainnya? Dapat dibayangkan, bagaimana anak tidak akan merasa aman dan nyaman dengan boneka yang berada di tangan anak lain.
2. Kapan anak dapat berbagi?
Berbagi dengan tulus menyiratkan empati, kemampuan memahami pikiran orang lain dan melihat hal-hal dari sudut pandang mereka. Anak-anak jarang mampu berempati sejati di bawah usia enam tahun. Sebelum menginjak usia 6, mereka berbagi hanya karena Anda mengondisikan mereka untuk melakukannya. Jangan berharap anak kurang berusia kurang dari 2 atau 2 ½ tahun mudah diajak berbagi. Anak dibawah dua tahun sedang dalam fase bermain paralel (bersama anak-anak lain) namun tidak benar-benar bersama mereka. Mereka peduli tentang benda-benda miliknya dan dirinya namun belum berpikir soal apa yang anak lain inginkan atau rasakan.
Dengan bimbingan dan kedermawanan, anak 2 tahun (yang egois) akan menjadi murah hati ketika menginjak usia 3 atau 4 tahun. Anak-anak mulai bermain satu dengan lain bahkan bekerja sama dalam permainan. Mereka mulai melihat nilai berbagi.
Anak-anak dengan orangtua yang mengembangkan pola asuh keterikatan, akan lebih sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan bersedia untuk berbagi. Namun mengajarkan sensitivitas untuk berbagi juga perlu mempertimbangkan aspek lain, misalnya, temperamen anak. Teorinya, anak lebih mudah berbagi dengan orang yang kuat dan sejajar, ketimbang dengan orang yang lebih lemah. Seperti, berbagi pada tamu ketimbang saudara kandung, anak yang sebaya ketimbang anak yang lebih muda, anak yang tenang ketimbang anak yang kerap meminta, dan seterusnya. Intinya, perhatikan isyarat anak dan ketahui kapan anak siap untuk berbagi.
3. Jangan memaksa anak
Dorong sikap dan lingkungan agar anak mau berbagi. Ada kekuatan dalam kepemilikan. Bagi orang dewasa, mainan sekedar mainan. Untuk seorang anak, mainan adalah barang berharga. Hormati sisi posesif anak, sementara Anda juga perlu menjadi teladan (role model) yang mendorong mendorong anak berbagi. Bila perlu, ajak anak bermain dalam keompok bermain, Anda juga dapat belajar sisi yang butuh dibimbing dari anak.
Jika anak selalu menjadi tukang serobot, Ia akan belajar jika tukang serobot tidak akan punya teman bermain. Sedangkan anak yang terlalu berkorban, perlu belajar untuk mengatakan 'tidak'. Pada usia pra sekolah, anak-anak dapat secara alami mempelajari arti 'apa untungnya bagiku', hingga melaju ke tahap kesadaran sosial 'apa untungnya bagi kita'. Secara bertahap dan dengan sedikit bantuan orangtua, anak akan belajar jika hidup akan lebih nyaman jika mereka berbagi.
4. Lebih terkoneksi
KOMENTAR