Kesibukan psikolog berusia 31 tahun nan cantik ini begitu padat. Mengajar, praktik, menulis buku, dan mengasuh rubrik Psikologi media. Puluhan artis muda pun betah curhat padanya.
Kenapa, sih, tertarik jadi psikolog?
Bisa jadi tiap psikolog punya problem yang ingin mereka benahi. Nah, saya dulu minderan. Semasa SD, saya ngumpet kalau ada tamu datang. Saya merasa orang paling bodoh dan jelek. Kami empat bersaudara semuanya perempuan. Semua saudara saya rambutnya lurus, sedangkan saya kribo. Semua saudara selalu ranking satu di sekolah, tapi saya juara dua. Lalu, saudara-saudara saya jago main musik, saya tidak. Memang saya bisa main piano dan biola, tapi rasanya kalah mahir dibandingkan saudara saya.
(Roslina Verauli adalah anak kedua pasangan B. Pardede dan Nurhayanis Siregar. Lahir di Pekanbaru 23 Februari 1977, masa kecil hingga SMA dihabiskan di kota kelahirannya.)
Situasi apa yang membuat Anda mulai berubah?
Semasa SMA, sekolah mengadakan tes IQ. Hasilnya, saya termasuk cerdas. Di kemudian hari, saya merasa punya kelebihan di bidang melukis dan menulis. Dari situlah mulai tumbuh semangat. Lulus SMA, saya masuk Fakultas Psikologi, UI. Saya pun makin mantap menjalani profesi sebagai psikolog.
Apa kesibukan Anda sehari-hari?
Tiap Selasa dan Jumat saya praktik di Rumah Sakit (RS) Pondok Indah, Jakarta. Klien di sana, kan, banyak. Terkadang masih ditambah praktik hari Sabtu. Saya juga praktik di RS Cengkareng. Hanya saja, klien di Cengkareng tidak terlalu banyak. Normalnya, sih, saya praktik sampai jam 19.00. Tapi, di Pondok Indah saya sering praktik sampai jam 21.00 atau 22.00. Sebelumnya, saya dan klien sudah janjian lebih dulu.
Nah, tiap klien saya tetapkan satu jam konsultasi. Saat ramai, sehari bisa 12 klien. Problemnya tentu saja banyak dan beragam. Inilah yang membuat saya senang. Tak terasa sudah 12 jam saya bekerja, tahu-tahu badan sudah capek.
Selain praktik, saya mengajar S2 untuk beberapa mata kuliah di Fakutas Psikologi, Universitas Tarumanegara. Saya juga mengajar satu mata kuliah untuk mahasiswa S1 di kampus yang sama. Karena kesibukan saya, mahasiswa bimbingan bisa nyusul di tempat praktik RS Cengkareng, gantian dengan pasien. Tapi, enggak mungkin mereka minta bimbingan saat saya praktik di Pondok Indah karena pasiennya padat banget.
Masalah apa yang sering dihadapi klien?
Macam-macam. Di RS Cengkareng lebih banyak anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan. Anak dengan keterbelakangan mental karena orang tua enggak mampu memberi gizi yang baik. Beda lagi dengan di RS Pondok Indah yang kliennya dari kalangan menengah-atas.
Masalah yang muncul pada umumnya hubungan suami istri yang tidak oke. Banyak yang datang mengeluhkan kehidupan rumah tangga. Misalnya saja istri berusia 50 tahun yang suaminya punya wanita simpanan. Yang saya bangun dari klien ini adalah hidupnya masih berarti. Agar klien mau lepas bercerita, saya beri jaminan, semua ceritanya menjadi rahasia. Ini memang kode etik kami.
Ada lagi klien datang menceritakan anaknya yang umur 10 tahun, tiba-tiba suka marah. Ternyata, yang "tegangan tinggi" adalah orangtuanya. Suami-istri yang sibuk kerja, tentu saja anaknya enggak relaks. Jadi, yang harus ditangani adalah hubungan ibu dan bapaknya. Memang sejak praktik tahun 2003 sampai sekarang, saya belajar bahwa problem anak selalu bersumber pada orang tua.
Anda masih lajang tapi menasihati kehidupan rumah tangga klien yang usia jauh di atas Anda.
Begitulah. Biasanya hanya menit awal klien memandang aneh. Setelah itu mereka menghargai saya. Karena sering mendengar keluhan klien, dalam usia muda saya sudah kenyang asam garam kehidupan rumah tangga orang lain.
Tampaknya beda ya karakter klien di dua tempat Anda berpraktik ?
Betul. Di RS Cengkareng, tak sedikit yang datang pakai fasilitas gakin (keluarga miskin) dari kelurahan. Umumnya mereka tidak mengerti psikolog. Mereka datanng setelah ada rujukan dari dokter anak. Sebaliknya di RS Pondok Indah, klien dari kalangan menengah-atas. Mereka datang dari berbagai tempat di Jakarta, seperti Kelapa Gading, Pantai Indah Kapuk, sampai Singapura.
Mungkin prosesnya dari mulut ke mulut
Lebih berbeda lagi saya juga dikontrak sebuah manajemen artis untuk menangani puluhan artis. (Verauli tidak menyebutkan nama manajemen artis itu). Talent mereka itu ada yang masih baru, ada juga sudah dikenal karena tampil di teve tiap hari. Acara teve belakangan ini, kan, lagi booming sinetron remaja. Nah, sebagian besar dari mereka memang masih remaja.
Apa masalah mereka?
Biasanya masalah kepercayaan diri. Bahkan ada artis yang sudah cukup dikenal pun masih kurang pede dengan penampilannya. Semula mereka sering tenggelam, gampang minder, langsung drop melihat lawan mainnya begitu keren.
Kenapa bisa begitu?
Ketika saya amati, artis-artis muda itu punya karakter yang sama. Sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke bawah. Mereka harus membiayai keluarganya. Jarang sekali artis berasal dari keluarga kaya raya. Banyak juga di antara mereka yang berasal dari keluarga broken home. Kondisi-kondisi inilah yang menjadi problem untuk kepercayaan diri. Tentu saja mereka tidak bisa tampil maksimal. Nah, tugas saya adalah membangun kepercayaan diri mereka agar auranya keluar.
Biasanya, sih, yang mengganggu mereka problem dari rumah. Inilah saya benahi. Bahkan, orang tua perlu dilibatkan. Dengan dukungan orang tua, si artis bisa menemukan kepercayaan dirinya.
Mereka juga datang ke klinik Anda?
Oh tidak. Biasanya kami bertemu di luar. Untuk klien di luar ini, saya batasi 2-3 kali seminggu. Biasanya, si artis yang menentukan tempatnya sendiri. Dengan tempat yang akrab, mereka jadi merasa nyaman. Sekarang saya punya langganan di kafe sebuah mal untuk tempat pertemuan. Kami pilih waktu yang biasanya sepi pengunjung agar si artis merasa nyaman mengungkapkan persoalannya . Selama ini sudah puluhan artis saya tangani. Senang sekali mendengar mereka berhasil mengatasi maslahnya.
Apa lagi kegiatan Anda lainnya?
Saya sering jadi narasumber talkshow untuk remaja. Kebetulan ada sebuah produk yang mengontrak saya. Pada bulan-bulan tertentu, hampir tiap hari ada talk show. Bahkan, sampai ke luar kota seperti Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bandung. Lelah banget, sih, tapi menyenangkan. Selain itu, saya juga mengasuh rubrik psikologi, namanya Help Me di Majalah Kawanku. Mereka yang memberikan masalah, saya tinggal menjawab.
Dari kesukaan menulis, saya sudah menulis sebuah buku pengembangan diri berjudul I was an Ugly Duckling, I am a Beautiful Swan. Tahun ini mudah-mudahan ada lagi buku saya yang terbit. Saya juga kerjasama dengan Tabloid Nakita untuk menulis buku. Kabar terbaru, saya membuat konsep iklan untuk sebuah produk susu. Iklan ini dibuat berseri. Mudah-mudahan bulan depan sudah keluar.
Anda begitu sibuk, kapan ada waktu merawat diri?
Saya selalu menyempatkan. Karena tuntutan kerja, saya mesti tampil cantik. Saya sering ke salon untuk ngeblow rambut. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk baca apa saja. Mulai dari media hiburan sampai majalah berita. Di sela waktu, saya juga senang main biola dan piano, meski permainan saya tidak sebagus saudara-saudara saya.
Apa rencana ke depan?
Saya ingin membuka lembaga pendidikan. Inginnya, sih, membuat pre school dan TK. Untuk kehidupan pribadi, tahun ini saya berencana menikah dengan Hendri Gunawan. Kami sedang merenovasi rumah di Perumahan Permata Mediterania, Jakarta Barat.
Henry Ismono
KOMENTAR