Hidup ini bagai putaran roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Saya sudah merasakan semuanya dan kini benar-benar di posisi paling bawah. Harta sudah habis-habisan, harus dipenjara, juga dipisahkan dari suami, Wahyu Diyono, dan dua anak, Wira (6) serta Bagas Setiadi yang baru berusia 6 bulan.
(Nan menjadi perbincangan karena harus ditahan padahal masih menyusui si bungsu. Karena itu, dua kali sehari Bagas harus datang ke rutan untuk mendapatkan ASI dari Nan. "Kalau tak diberi ASI, saya dan Bagas sama-sama sakit. Jadi, mau tak mau dia harus ke rutan," kata Nan ketika itu. Selasa lalu adalah sidang perdana Nani. Ia merasa lega karena sebelum naik mobil tahanan menuju ke pengadilan, bisa bertemu Bagas dan menyusuinya. Begitu sampai di pengadilan, Nani kembali melepas kangen bersama anak bungsunya itu. "Ya, cuma di jam besuk dan saat menunggu sidang begini saya bisa bercengkerama dengan Bagas. Kalau malam, saya sendiri lagi. Sedih rasanya harus berpisah sama anak-anak.")
Saya merasa saat ini sedang berada di titik nadir. Kendati belum ada bayangan kapan bisa keluar dari masalah ini, tapi saya menganggapnya ujian yang harus saya lalui. Seperti ujian-ujian yang selama ini kerap saya hadapi. Saya tak akan menyesali sampai harus dipenjara. Ini bukan kesalahan saya. Saya memang tak bisa membayar kekurangan uang pembelian rumah. Tapi bukan karena mau ingkar janji. Saya memang tak punya uang! Saya siap membayar, namun beri saya waktu.
Niat Menolong
Kisah kenapa saya jadi begini amatlah panjang. Sekitar dua tahun lalu, saya bersama teman mencari rumah atau tanah. Rumah itu bukan hanya untuk ditinggali atau disewakan, tapi juga dijadikan jaminan utang ke bank. Saya dan suami, kan, menjadi pemasok di PT Kratau Steel dan PLN Cilegon. Saya juga sering diminta menyusun site plan sebuah usaha.
Sebagai wiraswastawan, kami memang harus punya modal. Nah, biasanya bila sedang perlu modal, saya kadang kepentok pada rentenir yang bunganya sebulan bisa mencapai 10 persen. Dana segar itu terpaksa dipakai bila kami sedang terpepet. Andai punya sertifikat rumah, bisa diagunkan ke bank dengan cicilan yang jauh lebih ringan.
Suatu hari saya lihat iklan rumah dijual. Pemiliknya bernama Pak Latief. Begitu lihat kondisi Pak Latief saya hanya bisa mengurut dada. Dia sakit dan tak bisa beranjak dari tempat tidur akibat pengapuran tulang. Rumahnya yang akan dijual pun hanya berupa SK Bupati. Tapi Pak Latief sepertinya sangat memerlukan uang. Kami pun membuat kesepakatan, tanah dan rumah dihargai Rp 250 juta. Hanya saja, surat rumah harus diurus dulu agar bisa diagunkan di bank. Saya bersedia membantu mengurus surat itu hingga menjadi Akta Jual beli (AJB).
Anehnya, setelah surat itu jadi AJB, ternyata belum bisa dijadikan agunan bank. Akhirnya Pak Latief setuju ketika saya mengurusnya menjadi sertifikat. Lalu saya jaminkan ke bank senilai Rp 400 juta. Sebagian untuk modal usaha, sisanya untuk melunasi utang-utang saya yang sebagian juga dipakai oleh Pak Latief.
Selama ini Pak Latief memang sering meminjam uang ke saya, entah untuk keperluan sehari-hari atau lainnya. Bahkan suatu hari saya mendapat kabar Pak Latief masuk RS Pangung Rawi, Cilegon. Saya juga yang ikut membayari ongkos menuju RS plus biaya transpor pulang.
Sayang, usaha yang saya dan suami rintis menemui kendala. Penyebabnya, saya tak bisa full bekerja karena kehamilan saya bermasalah sejak usia 10 minggu. Padahal, tugas saya sebagai tenaga marketing sementara suami jadi teknisi. Jika marketing tak jalan, usaha pasti ambruk. Lantaran usaha macet, kekurangan pembayaran rumah ke Pak Latief tak bisa segera dipenuhi.
KOMENTAR