Ketika semua berjalan lancar, tiba-tiba saya mendapat ujian besar. Tiba-tiba Mirota terbakar pada 2 Mei 2004. Cobaan itu sangat berat bagi saya, karena saya dalam kondisi tidak tahu menahu apa penyebabnya. Kejadiannya hari Minggu saat toko sudah tutup. Lalu saya dapat telepon dari orang Jakarta yang mengabarkan toko saya kebakaran.
Awalnya, saya anggap itu orang iseng saja. Padahal, posisi orang itu sudah di depan toko. Yang agak mengherankan, kok, tak ada karyawan yang menelepon saya. Lagi-lagi pikiran saya mungkin ada yang iseng saja. Tak lama orang tadi menelepon lagi dan mengabarkan, toko saya benar-benar terbakar.
Penasaran, akhirnya saya datang ke sana, tapi terlambat. Semua sudah habis dan ambruk. Akhirnya saya tahu kenapa tak ada yang telepon, karena semua orang dalam kondisi bingung menyelamatkan barang yang ada. Saya syok sekali melihat toko yang sudah saya bangun sejak lama menjadi gosong.
Mulanya saya curiga pada tetangga saya, karena ketika saya tanyakan berapa jumlah asuransinya, jawabnya selalu berbeda-beda. Tapi belakangan tuduhan malah mengarah ke saya sendiri. Saya dianggap sengaja membakar toko agar dapat ganti rugi. Untunglah, semua tidak terbukti.
Sialnya, Di saat sedang kesusahan saya malah dimintai uang oleh oknum polisi. Katanya, kalau mau beres harus membayar sejumlah uang buat biaya penyelidikan. Untungnya saya dapat dukungan dari Ratu Hemas. Sampai-sampai saat beliau menelepon, saya tak kuat menahan tangis. Oleh beliau, saya diminta minum air di keraton dan dicucikan ke badan. Setelah itu saya jadi kuat.
Namun, di dalam kamar saya selalu bertanya, dosa apa yang saya lakukan sampai mendapat musibah seperti ini. Untung, dukungan dari keraton membuat saya bangkit dan bisa memperbaiki nasib. Tak mungkin berdiam diri meratapi nasib, saya coba pinjam uang ke bank untuk membangun kembali Mirota. Kakak juga membantu dengan memberikan pinjaman uang.
Akibat kebakaran itu, saya harus berjuang dari awal lagi. Saya banyak dibantu karyawan, tanpa bantuan mereka saya tak bisa apa-apa. Sampai-sampai mereka membuka posko untuk menjaga toko. Saya saja tak terpikir sampai ke sana, siapa, sih, yang mau ambil barang wong sudah habis. Tapi saking cintanya mereka, jangan sampai ada orang masuk sembarangan.
Soal karyawan, saya punya prinsip tak mau mengeluarkan satu karyawan pun. Pagi hari setelah kebakaran, mereka kumpul di rumah saya. Saya tahu mereka khawatir akan ada karyawan yang dikeluarkan. "Tak akan ada satu karyawan yang keluar, kita sama-sama menderita dan sama-sama senang," ujar saya sambil berlinang air mata.
Karyawan saya jumlahnya sudah 100 lebih, saya minta mereka dibagi-bagi saja kerjanya. Kenapa saya melakukan itu, karena mencari uang itu susah. Saya masih bisa makan, tapi bagaimana jika mereka dikeluarkan, mau makan dari mana? Kalau saya sayang karyawan, otomatis karyawan akan sayang ke pekerjaannya. Tak ada istilah susah, bila sekarang saya susah, pasti saya dibantu karyawan. Benar, kan?
Mereka pun lega dan senang. Sementara itu, saya mencari modal ke mana-mana. Untungnya saya masih punya tabungan untuk membangun kembali Mirota. Dalam setahun, bangunan 4 lantai pun selesai. Lantai 1 untuk batik, lantai 2 kerajinan, lantai 3 studio foto dan ruang tunggu, yang juga ada di lantai 4.
KOMENTAR