Julida, asal Sekura, Kabupaten Sambas, dan bayinya yang berusia 8 bulan, Maya Sandira, terlunta-lunta di Kota Sambas karena tidak memiliki rumah tempat berteduh. Ia singgah dari satu tempat ke tempat lain.
"Saya bermalam ditempat warga yang mau memberi tumpangan. Bila tidak ada, saya beristirahat di Masjid Babul Janah, tapi saya tak berani lama-lama takut mengotori masjid," jelas Julida, kepada Kabid Zakat Kantor Depag Sambas, H Sartono, yang menemuinya, Kamis (28/1).
Perempuan kelahiran Sekura, 5 Juni 1970 ini, menceritakan, sudah tiga tahun hidup penuh kesulitan, sejak suaminya meninggal. Pihak keluarga dari istri pertama suaminya meminta dia keluar dari rumah.
"Berkali-kali saya diusir, sampai pada tahun lalu, rumah saya dirobohkan," tandas Julida seraya mengusap wajah bayi mungilnya.
Ia yang seorang yatim piatu kemudian memperkarakan kejadian tersebut ke Mapolsek Sekura, namun kalah dalam proses hukum. Saat tak ada perlindungan, Julida kemudian bertemu seorang pemuda asal Palembang, Herman, yang kemudian menjadi suaminya.
Akhirnya ibu lima anak bersama suami barunya, tinggal dan bekerja di satu perkebunan sawit di Sanggau Ledo mulai Desember 2009.
"Baru dua bulan kami jadi buruh di sana, kemudian anak saya yang kedua mengalami kecelakaan dan diobati di Sambas. Jadi saya berangkat ke Sambas," kata Julida.
Namun malang, Julida hampir tak mampu mengatakan, bahwa menyadari suami barunya tersebut menghilang dari perkebunan. Ia tak mau mengatakan bahwa Herman telah lari meninggalkan dirinya bersama anak-anak.
"Empat anak saya yang lain saya titipkan, ada di Sambas, Sekura, Kartiasa, dan Singkawang. Yang bungsu ini tetap sama saya," tukas perempuan itu.
Pihak keluarganya yang banyak tak mampu, tak bisa menampung Julida, alhasil Julida hidup di Sambas tanpa rumah, dan berusaha menjadi kuli lepas.
"Subuh-subuh, saya ke pasar, ada tauke yang memberikan sayur agar saya jajakan keliling," tuturnya, menjelaskan usaha yang dilakukan Julida untuk dapat bertahan hidup bersama bayinya.
Namun saat malam tiba, ia kembali bimbang, karena tak memiliki tempat berteduh, bahkan pondok sekalipun. "Saya bingung Pak. Sebentar saja semuanya bisa berubah, dulu 17 tahun saya di Sekura bersama suami saya. Saat dia meninggal, kami anak-beranak menjadi telantar," tandas julida.
dasa novi gultom/tribun pontianak
KOMENTAR