Bahagia dan lega ya, sekarang sudah mendapat ketetapan hukum?
Bahagia sekali. Akhirnya saya dapat pengakuan secara hukum. Ini tentunya akan memudahkan saya dalam mengurus hal-hal legal formal. Kalau ada sesuatu, saya tahu harus melapor ke mana, semisal kalau saya mendapat pelecehan seksual.
Bagaimana dengan tanggapan miring masyarakat terhadap transeksual?
Saya sering jengkel. Tidak mungkin, kan, saya menjelaskan ke masyarakat bahwa transeksual itu berbeda dengan waria. Transeksual itu muncul dari jiwa. Bahwa saya merasa tidak nyaman memiliki tubuh laki-laki. Kalau waria, kan, tidak. Dia masih bisa memfungsikan alat kelaminnya dengan baik. Dia tidak terganggu dengan alat kelamin prianya, sementara saya terganggu bahkan sampai membenci.
Dulu, waktu SMA, saya harus pakai celana panjang karena itu adalah regulasi. Hanya itu. Tapi kalau saya diberi pilihan, pakai celana atau rok, saya pasti pakai rok. Jadi, saya bukan laki-laki yang tiba-tiba berubah jadi perempuan. Semua ini proses yang panjang.
Tidak gentar menghadapi pro dan kontra yang pastinya segera muncul?
Setelah banyak pemberitaan mengenai saya, saya sering mendapat caci maki atau SMS yang tidak sopan. Tadi, di bandara, ada ibu yang mendatangi dan memeluk saya sambil bilang, "I love you, Dea!" Tapi saya siap! Saya harus berani bicara untuk kepentingan orang-orang yang seperti saya. Saya tidak menyesal.
Sudah punya kiat untuk menghadapi semua masalah yang bakal timbul?
Saya enggak aneh-aneh. Mungkin banyak orang yang berpikiran buruk tentang waria karena perilaku waria yang tidak mengenakkan. Kalau saya, kan, enggak. Saya berpakaian seperti wanita sesuai dengan usianya. Saya juga enggak suka pakai baju terbuka, makanya saya enggak diomongin. Keluarga juga enggak terganggu karena perilaku saya enggak aneh-aneh. Saya berusaha menjaga itu.
Bagaimana kisahnya sampai akhirnya menjadi Dea?
Sejak kecil saya menyadari, ada perbedaan pada diri saya. Ketika saya lahir menangis, mungkin sudah mau mengatakan, ada sesuatu yang salah. Masalahnya, ketika dihadapkan pada sebuah kehidupan yang memiliki aturan dan harus diikuti, harus saya yakini bahwa itu adalah suatu perjuangan.
Ini bukan bentuk pemberontakan. Ini suatu tindak lanjut. Ketika saya diberi opsi untuk memilih jadi laki-laki atau perempuan, saya akan memilih jadi perempuan. Sayangnya tidak ada opsi, jadi saya harus menjalani peraturan yang berlaku. Ini hanya bentuk ketaatan pada lembaga, baik keluarga, sekolah, dan lain-lain.
(Bersambung)
Sita Dewi
Foto-foto: Agus Dwianto
KOMENTAR