Sosialisasi yang dilakukan PLN menarik minat Pantas Harahap (54) untuk pindah dari cara lama ke LPB. Ia mengaku, sebelumnya sering merasa terganggu dengan kedatangan petugas meteran listrik ke rumahnya di kawasan Cinere. Apalagi, sebagai orang kantoran, ia sibuk bekerja. Rumah pun sering sepi kecuali di hari Sabtu dan Minggu. Belum lagi ia merasa ragu, apakah yang datang ke rumahnya benar-benar petugas meteran.
"Memang belum pernah ada suatu kejadian, tapi bisa saja, kan, yang datang petugas gadungan? Dengan cara LPB, tak ada lagi petugas yang datang. Saya merasa lebih aman," katanya.
Ketika mengetahui cara kerja LPB mirip pemakaian pulsa prabayar HP, Pantas makin tertarik. Artinya, tak sulit baginya untuk mengikuti cara baru. "Memang mirip HP, kita tinggal mengisi nomor kode setelah membeli token."
Agar token tak cepat habis, Pantas juga jadi lebih rajin mengontrol pemakaian listrik di rumahnya. Misalnya listrik di kamar mandi sering menyala, kini dimatikan jika tak digunakan. "Saya matikan listrik yang tak perlu," kata Pantas yang menggunakan dua AC di rumahnya. Ia menggunakan daya listrik 2200. "Kecuali Sabtu-Minggu, AC menyala dari jam 22.00 - 05.00."
Sebelumnya, biaya listrik di rumahnya bisa mencapai Rp 400 ribu. Setelah pakai LPB, biayanya memang jadi lebih murah. Hanya saja, Pantas mengaku terkadang abai. Ia membiarkan lampu di rumahnya masih menyala meski tak digunakan. Akibatnya, biayanya lebih tinggi dari biasanya. Bahkan, Pantas yang membeli LPB Rp 400 ribu per bulan seperti pemakaian sebelumnya, pernah mengalami lampu mati.
"Waktu itu, saya lupa mengontrol meteran. Sebenarnya, sih, meteran sudah berkedip-kedip tanda dayanya sudah akan habis. Karena lupa mengontrol, ya lampunya mati, pas malam pula. Tapi, saya enggak kesulitan karena punya alat EDC (Electronic Data Capture). Tinggal mengisi lagi lewat EDC, listrik nyala lagi," kata Pantas.
Selama ini EDC dikenal sebagai teknologi penunjang transaksi dengan kartu debet, yang merupakan layanan bagi nasabah bank. "Saya membeli EDC dari bank perkreditan di Jawa Barat."
Setelah selama beberapa bulan menggunakan LPB, Pantas mengaku akan terus menggunakannya. Meski bila dihitung-hitung, biayanya relatif sama dengan sebelumnya. Satu hal yang jadi pertimbangannya adalah soal privacy. "Saya tak terganggu petugas meteran lagi. Itu sebabnya, saya menyarankan kerabat untuk menggunakan LPB."
Wenda yang menggunakan daya listrik 2200, biasanya mengeluarkan biaya rata-rata Rp 300 ribu per bulan. Memang tak begitu jauh dari sebelum pakai LPB. Namun, cara baru menolong keluarga lain yang keuangannya terbatas. "Dengan cara ini, pelanggan, kan, bisa beli listrik tidak langsung Rp 300 ribu, tapi bisa Rp 100 ribu dulu sesuai kondisi keuangannya."
LPB, lanjut Wenda, juga membuatnya belajar mengendalikan diri. Ia rajin mengontrol pemakaian listrik di meteran agar tak padam mendadak. "Sebelum pakai LPB, saya pernah punya pengalaman buruk. Gara-gara telat bayar, listrik di rumah dipadamkan PLN. Nah, sejak menggunakan LPB sejak Oktober lalu, listrik di rumah tak pernah padam lagi. Saya, kan, rajin mengontrol meteran."
Henry Ismono
KOMENTAR