Semua usaha dan doa akhirnya terbayar begitu ia lolos diterima masuk Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Jogjakarta lewat jalur tanpa tes. Semua tak lepas dari doa dan usaha keras sang ibu yang hanya seorang penjaja gorengan.
Namaku Dyah Utami Nugraheni. Usiaku 19 tahun. Aku lahir di Sleman, Jogjakarta, dari pasangan almarhum Mulyadi dan Ngatinem. Ibu, yang sekarang berusia 58 tahun, adalah seorang ibu yang kuat. Ayahku pergi untuk selamanya tahun 2007 lalu waktu itu aku duduk di kelas 3 SD. Memang, tak banyak yang bisa kuingat tentang itu karena saat itu aku masih kecil. Yang jelas, sejak saat itu ibuku selalu menemaniku setiap saat.
Aku memang paling dekat dengan ibu. Dua kakakku, Hartoyo dan Praptono, adalah anak bapak beda ibu. Meski beda ibu, kedua kakakku juga sangat menyayangiku. Keduanya juga sering membantuku jika aku mengalami kesulitan. Saat ini kedua kakakku sudah berkeluarga namun masih sering memberi kabar dan pulang karena ibu tiriku tinggal di samping rumah.
Ibuku adalah orang yang sangat kuat. Ia bekeja keras mencari nafkah demi bisa memberikan yang terbaik secara ekonomi buatku. Ibu rela bekerja apa saja, termasuk menjual gorengan. Hasil dari menjual gorengan inilah yang membuatku bisa terus mendapat pendidikan.
Memang, sejak SD hingga kuliah, aku selalu mendapat beasiswa karena kondisi ekonomi ibu. Saat masih duduk di tingkat SD dan kemudian SMP 1 Godean, Jogjakarta, aku mendapat beasiswa Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Lalu saat sekolah di SMAN 1 Jogjakarta, aku juga mendapat beasiswa sekolah dari alumni SMAN 1 Jogjakarta. Beasiswa itu kugunakan untuk membayar SPP dan juga membayar sumbangan sekolah. Sisanya kugunakan untuk membeli buku.
Beli Buku Duit Kurang
Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup sederhana. Semua kekurangan justru memacuku untuk menciptakan kelebihan. Aku tidak malu pada kondisi keluargaku, karena justru dengan kondisi ini, aku punya kesempatan untuk terus bersekolah dan mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Kesempatan ini kugunakan semaksimal mungkin sehingga aku selalu juara kelas sejak SD, SMP, maupun SMA. Ini untuk membayar jerih payah ibuku yang menguras keringat agar aku bisa terus sekolah.
Biaya sekolahku memang gratis, namun ada beberapa buku yang harus kubeli. Ibu hanya bisa memberiku uang jajan. Tak jarang, saat aku ingin membeli buku, ibu rela bekerja dua kali lipat supaya kebutuhanku tercukupi. Tak jarang, uang untuk beli buku kurang dan ibu hanya bisa bilang, aku harus menunggu dulu untuk bisa beli buku itu. Lalu aku pun mulai menabung supaya bisa beli buku pelajaran.
Lambat laun, kebutuhan beli buku ini bisa kusiasati seiring berkembangnya teknologi. Beberapa buku yang kubutuhkan ternyata bisa didownload, jadi saat di sekolah atau kampus aku bisa menjangkaunya lewat internet.
Aku juga bersyukur karena tinggal di kota pelajar yang akses teknologinya bisa didapat dengan mudah. Jika menyerah, pasti aku tetap tidak akan mendapat buku tersebut. Dari situ aku dapat pelajaran, jika memang kita benar benar ingin mendapatkan sesuatu, maka kita harus kerja keras untuk meraihnya. Karena semua pasti ada jalannya.
Lolos Masuk UGM
Masa-masa SMA adalah masa yang paling indah. SMAN 1 Jogjakarta dimana aku sekolah merupakan sekolah favorit di Jogjakarta. Di sana aku banyak mendapat teman baru dan seru. Di sekolah inilah aku belajar banyak tentang organisasi dan kerjasama. Saat di SMA ini aku ikut dua ekstra kurikuler yaitu baris berbaris dan PMR. Dua kegiatan ini yang menghidupkanku selama di sekolah. Aku belajar tentang kemanusiaan, kerjasama dan persahabatan.
KOMENTAR