Salah Kaprah Body Positivity: Menerima Diri, Bukan Membiarkan

By Maria Ermilinda Hayon, Jumat, 3 September 2021 | 17:01 WIB
Perempuan beragam warna kulit dan bentuk tubuh. (jacoblund)

 

NOVA.id - Bukan sekali atau dua kali, Kania Dachlan dianggap mengampanyekan toxic body positivity sejak dirinya menjadi model plus size sejak 10 tahun lalu.

Kania pun merasa aneh dengan anggapan netizen ini, padahal dia tak bermaksud demikian.

Model sekaligus influencer ini merasa banyak orang salah paham dengan kampanye body positivity yang dia suarakan.

Baca Juga: Cover Tabloid NOVA Terbaru: Marshanda Buka-bukaan Soal Bentuk Tubuhnya dan Cintai Diri Sendiri

Banyak orang merasa kalau Kania justru menyuarakan agar mereka menerima tubuh dalam arti membiarkan tubuh, tanpa merawat dan menjaganya.

“Hal lain yang bikin sempat kepikiran yakni banyak orang salah sangka tentang body positivity yang justru dianggap toxic positivity karena dikhawatirkan membuat angka obesitas di Indonesia meningkat,” jelasnya mengutip dari Parapuan.co.

Nyatanya, Kania merasa body positivity justru membuatnya lebih mau untuk merawat diri.

Baca Juga: Unggahan Tara Basro Gaungkan Body Positivity, Ternyata Konsep Ini Bikin Hidup Jadi Lebih Positif

Tak jarang, dia melakukan diet dan olahraga agar tubuhnya tetap sehat dan terjaga.

Tapi, tetap saja masih banyak orang beranggapan kalau body positivity itu mengajarkan kita untuk menjalankan gaya hidup tidak sehat.

Kenapa salah kaprah ini bisa berkembang?

Baca Juga: Anak Dibully Temannya, Ini Saran dari Psikolog untuk Orangtua

Kalau menurut Floranita Kustendro, C.Ht, Coach NLP, konselor keluarga dan hipnoterapis klinis dan pendiri komunitas Body Positivity Indonesia, salah kaprah ini terjadi karena kurangnya pengetahuan mendalam tentang body positivity.

Body positivity itu merupakan kampanye untuk mengajak individu agar tidak hanya melihat seseorang dari bentuk tubuh, gender, warna kulit saja, tapi menilai dari bicara, berperilaku, dan berpikir. Sebenarnya lebih ke situ,” ujar Floranita.

Adanya gerakan ini juga ingin mengajak orang untuk tidak memandang tubuhnya buruk, karena merasa berbeda dengan standar kecantikan secara umum.

Baca Juga: Keriting Itu Cantik! Yuk, Ikut Gerakan Kriwil.id Biar Kamu Makin PD

Infografis: Fakta Body Shaming (NOVA)

Sebab, menurut Floranita, standar kecantikan itu selalu berubah dan dibuat oleh masyarakat untuk strategi penasaran untuk produk kecantikan dan fashion, bukan lantas berarti orang yang tidak sesuai standar tersebut jadi tidak cantik.

“Pandangan umum tentang standar kecantikan begini-begini, lebih membuka kampanye body positivity. Ketika orang sudah memahami body positivity, kita bahagia, bersyukur, memperlakukan tubuh dengan hormat,” lanjutnya.

Tapi, bila memang tujuan body positivity itu bagus, kenapa sering dianggap toksik?Baca Juga: Tanpa Disadari, Ternyata 5 Kalimat Ini Mengarah pada Body Shaming

Hanya Menerima Saja

Body positivity sering dianggap toksik lantaran banyak orang masih belum paham tentang kampanye ini.

Memang betul, intinya body positivity itu menerima segala kekurangan dan kelebihan bentuk tubuh.

Tapi, bukan berarti kita hanya menerima saja tanpa melakukan apa-apa.

Baca Juga: Jadi Brand Ambassador Produk Kecantikan, Itzy Kampanyekan Self-Love

Menurut Floranita, banyak orang hanya “menerima”, tetapi tidak merawat tubuhnya. 

Misal, seseorang sudah tahu bahwa tubuhnya gemuk.

Dia paham kalau body positivity itu hanya “menerima”.

Baca Juga: Di Tengah Pandemi, Yuk Tetap Sayangi Diri Sendiri dengan 4 Cara Ini

Lalu dia tetap makan makanan tidak sehat dan tidak pernah olahraga.

Nah, kalau sudah demikian, itu justru malah membuat kita rentan terkena penyakit. 

Body positivity itu bukan hanya menerima bentuk tubuh kita. Tapi, kita perlu juga merawatnya dengan baik. Memperlakukannya dengan hormat, karena kita sayang dengan tubuh kita. Jadi, memang menerima saja tidak cukup, tetapi juga harus merawatnya,” ujar Floranita.

Baca Juga: Pergi Keliling Dunia untuk Kebahagiaannya Sendiri, Luna Maya: Enggak Ada yang Dikabarin Juga kan

Bila kita tidak merawatnya, tak heran bila salah kaprah tentang body positivity masih terjadi di sekitar kita.

Sebab, kita malah menjadikan body positivity sebagai alasan.

Alasan untuk terus menerus malah memberikan racun terhadap diri sendiri.

Baca Juga: Bukan Pertanda Kesepian, Makan Sendirian Bisa Bikin Bahagia, lo!

Obsesi Terhadap Tubuh

Oke, kita sudah sama-sama paham bahwa pemahaman body positivity itu berarti kita tetap perlu merawat diri juga.

Sah saja kalau mau melakukan diet dan olahraga untuk sehat dan menurunkan berat badan.

Tapi, lalu, banyak juga orang yang melakukan kegiatan ini secara berlebihan.

Baca Juga: Keriting Itu Cantik! Yuk, Ikut Gerakan Kriwil.id Biar Kamu Makin PD

Saking inginnya merawat tubuh, dia pun melakukan diet superketat dan lakukan olahraga dengan ekstrem.

Bahkan, ketika tubuhnya sudah mengatakan untuk berhenti, dia tetap menjalankan diet dan olahraga ekstrem tersebut.

Tentu saja, perilaku ini justru membuat kita malah meracuni diri sendiri.

Baca Juga: Berkaca dari Film Imperfect, Body Shaming Bisa Terjadi Tanpa Disadari!

Hal tersebut menurut Floranita termasuk toxic body positivity.

Sebab, seharusnya body positivity itu mengajak orang untuk mecintai dirinya, tapi dia malah melakukan kebalikan.

Dia menyakiti tubuhnya sendiri.

Baca Juga: Body Shaming: Serangannya Perlahan Namun Bisa Sangat Mematikan

 

 

“Bukan itu, body positivity itu juga menjaga keseimbangan antara mental dan fisik. Ya, kalau lapar, makan. Kalau capek, ya istirahat. Dengarkan tubuh. Jadi, menerima tubuh dengan kondisi tubuh. Oh, tubuhku tidak kurus banget ataupun curvy,” jelasnya.

Tak hanya soal tubuh saja, Floranita juga tak menampik bahwa orang juga salah kaprah tentang cara mereka menjaga mental.

Lantaran menjalankan gerakan body positivity, ada segelintir orang yang justru memilih ingin berpikiran dan beremosi positif saja.

Baca Juga: Self-Acceptance by #88LoveLife Ungkap Sisi Lain Diana Rikasari

“Emosi itu, kan, sesuatu yang manusiawi dan bersifat netral. Misalnya, ada orang cemas karena besok ujian. Nah, itu wajar, kan? Body positivity itu membuat kita sadar dengan pemikiran dan emosi kita, meskipun itu negatif,” ujarnya.

Sebab, rasanya kalau terus menerus menolak untuk beremosi negatif juga tidaklah baik untuk perkembangan mental kita.

Bisa saja, kita menjadi kurang simpati terhadap diri sendiri dan orang lain, karena tidak mau merasakan emosi negatif.

Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.

Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)