HIV dan TBC Masih Menjadi Penyakit Tertinggi di Indonesia, Ini Saran Dokter untuk Menghadapinya

By Widyastuti, Rabu, 22 Maret 2023 | 12:34 WIB
Cara mengatasi HIV dan TBC (iStockphoto)

 

NOVA.id - Meski pandemi Covid-19 sudah makin turun, Kementerian Kesehatan bersama pihak swasta di bidang kesehatan terus berupaya menghadirkan pelayanan terbaik di bidang medis untuk masyarakat.

Bahkan menurut dr. Endang Lukitosari, MPH dari Kementerian Kesehatan penyakit HIV dan TBC kini masih menempati dua kasus tertinggi di Indonesia.

“HIV dan TBC merupakan dua penyakit yang kasusnya masih terbilang tinggi, penguatan program masih kami lakukan hingga akhir 2030. Indonesia terhitung masih penyumbang kedua setelah India dalam kasus ini.

Jadi, kami melakukan kolaborasi untuk mengatasi pencegahan dan mengurangi potensi penularan,” ujar dr. Endang Lukitosari, MPH dari Kementerian Kesehatan melalui sambutannya dalam acara Recent Strategies in TB-HIV Management.

dr. Endang menjelaskan, 25% kematian dari Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) disebabkan oleh TBC karena ODHA 30x lebih berisiko untuk sakit TBC dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV.

“Untuk itu, jika ODHA dengan TBC tidak segera diobati dengan cepat, kematian akan lebih cepat. Supaya bisa diobati dengan cepat, maka perlu diagnosa dini,” ujarnya dalam acara yang dilaksanakan pada Sabtu (18/03)  secara hybrid di Hotel Gran Melia, Jakarta. 

Sejalan dengan pernyataan dr. Endang, President Director Abbott Rapid Diagnostics (ARDx), Indonesia Benny George menyatakan, Tuberkulosis merupakan penyebab utama kematian ODHA karena bertanggung jawab atas satu dari tiga kasus kematian terkait AIDS.

“Dengan persentase 60%, kemungkinan orang dewasa yang terjangkit HIV-positif akan tertular TB dalam dua tahun pertama setelah diagnosis dan sebanyak 50% kemungkinan anak yang hidup dengan HIV akan tertular TB dalam dua tahun pertama setelah diagnosis,” jelasnya.

Baca Juga: Ramadan di Depan Mata, Yuk Jaga Kesehatan Tubuh dengan Cara Ini

 

Menurut Benny, selain itu, terdapat kasus pada 2020 lalu, beban Tuberkulosis pada ODHA mengalami peningkatan pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade karena Covid-19.

“Maka, sebagai solusi dari permasalahan tersebut, kami mendukung WHO yang telah membuat pedoman global dengan merekomendasikan diagnosis dini dan pengobatan pasien TB dengan HIV,” katanya. 

“Abbott, sebagai perusahaan peralatan medis dan perawatan kesehatan asal Amerika meluncurkan alat deteksi antigen bernama Uji Lipoarabinomannan Urin Aliran Lateral (LF-LAM) bagi penderita tuberkulosis aktif pada pasien yang terjangkit HIV,” imbuh Benny.

Di Indonesia, Uji LF-LAM bagi ODHA telah diatur dalam PNPK KEMENKES Tahun 2020 sesuai anjuran WHO. 

World Health Organization (WHO) menyatakan, tes dengan Uji LF-LAM melalui urin ini telah muncul sebagai tes point-of-care yang potensial untuk TB.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Jakarta Raya (PAPDI Jaya) yang diwakili oleh dr. Asep Saepul Rohmat, SpPD, K-GEH, FINASIM juga menyampaikan bahwa sebagai dokter, kita perlu memiliki ketepatan dalam mengidentifikasi pasien, lokasi, penentuan prosedur dan tepat dalam menentukan tindakan operasi untuk pasien.

Acara Recent Strategies in TB-HIV Management ini juga diisi oleh beberapa pembicara dokter lainnya di bidang TB-HIV yaitu, Dr. dr. Evy Yunihastuti, SpPD, K-AI, Finasim, dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, SpPD, K-P, FINASIM, K-IC dan dr. Anis Karuniawati, PhD, SpMK (K).

Acara ini juga dihadiri oleh dokter umum dan dokter spesialis penyakit dalam sebanyak 24 secara offline dan 255 secara online. (*)