Nah, gara-gara ini anak saya jadi sering diejek, mulai dari kami dikatai sebagai orang tua yang tidak benar, sampai-sampai ada pula yang mengatakan dia anak pungut.
Jeleknya lagi, omongan buruk ini juga beredar di kalangan orang tua murid.
Ini membuat saya jadi bertanya-tanya, apakah setiap anak pulang sekolah, alih-alih menanyakan kemajuan belajarnya, para orang tua malah mnyelidiki, ”Ada isu apa?”
Bahkan ada yang tega tanya ke saya waktu menjemput anak, apa benar dia ini anak simpanan makanya tidak boleh ketahuan orang siapa orang tuanya. Ngaco berat kan, Bu?
Saat ini, anak saya tetap berangkat ke sekolah, tetapi keceriaannya hilang.
Untungnya dia masih mau berterus terang tentang celotehan teman-temannya dan juga masih menjawab kalau saya mencari tahu apa yang dirasakan.
Saya ingat, di kanal ini Bu Rieny pernah mengatakan, bila mau menggali lebih jauh tentang perasaan anak terhadap masalah yang dihadapi, kita perlu lebih menjurus ke “apa”, bukan “mengapa”.
Dengan demikian, orang tua akan mendapat fakta dan bukan penilaian anak terhadap masalahnya. Benar ya, Bu? (Iya, benar sekali, RH).
Saya ingin anak saya lebih berani bicara, menerangkan bahkan membantah bila “diserang” oleh omongan jahat teman-temannya.
Saya sendiri—jujur saja—memang lebih memilih untuk tidak konfrontatif menghadapi ibu-ibu rempong itu.
Saya tidak suka bersitegang, Bu Rieny,...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Aku Kesal Keluarga Besar Terus Mengatai Anakku