TabloidNova.com - Pengusaha lurik Arif Purnawan ingin terus melanjutkan budaya lurik nenek moyangnya. Salah satu kelemahan lurik menurut Arif adalah motifnya yang cenderung monoton dengan motifnya yang hanya bergaris-garis. Ini membuat banyak produksi lurik yang menumpuk, karena tidak laku dijual. Karena tidak mengikuti zaman, akibatnya ketinggalan. Banyak yang tutup."
Arif pun berupaya mengembangkan lurik sesuai dengan zaman. Misalnya saja ia memadukan lurik dengan motif tenun Papua atau Sumba. "Saya mulai othak-athik agar motif lurik makin kaya. Sekarang, saya mengangkat motif Nusantara, antara lain tenun ikat, tenun bobby, tenun songket. Dari perpaduan itu lurik tidak ditinggalkan tapi justru terangkat kembali," paparnya.
Arif juga menggarap pasar lokal. Ia memenuhi kebutuhan sandang untuk masyarakat di luar pulau Jawa, terutama kawasan Indonesia Timur. Bahkan, ia tak segan menjalin kerja sama sekaligus memberi pelatihan kepada perajin setempat. "Saya pernah memberi pelatihan pada perajin di Kupang, perbatasan Timor Leste, Palangkaraya, dan Padang. Saya membina pengusaha di sana, setelah saya didik dan bisa berjalan, barulah dilepas."
Arif tak segan berbagi ilmu. "Dengan berbagi ilmu, saya bisa mendapatkan lebih banyak ilmu lagi," ujar Arif yang merasa usahanya tidak tergantung dengan pemerintah. Bahkan, kadang pemerintah malah tidak mendukung. Misalnya saja pernah Pemda setempat mewajibkan pegawai negeri memakai lurik, tapi begitu bupatinya ganti, kebijakannya juga berganti.
Itu sebabnya, Arif terus berupaya mencari terobosan. Ia gencar berpromosi lewat media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan seterusnya. "Saya harus pintar menggunakan berbagai macam trik supaya lurik tetap dikenal. Ternyata, respons masyarakat masih besar," kata Arif seraya mengatakan, sekarang di Pedan tinggal tersisa belasan perajin. Itu pun kebanyakan masih memproduksi lurik dengan corak monoton.
Kreativitas Arif juga ditunjukkan ketika ia membuat pashmina dengan motif lurik. Ia memang mengamati bahwa pasar hijab begitu besar, bahkan sudah menjadi mode. Hasilnya, "Pashmina juga laris manis."
Berkat berbagai usahanya ini, Arif termasuk perajin lurik terdepan di Pedan. Dalam menjalankan usahanya, ia dibantu 40-an karyawan, di antaranya khusus membuat lurik untuk pasar ekspor. "Sebenarnya, pasar masih sangat besar. Kendala saya adalah SDM. Makanya saya terus berusaha mendidik para perajin. Selain itu, saya tengah merancang alat tenun, yang sebagian dijalankan dengan mesin. Tentu agar produksi makin besar."
Soal harga, menurut Arif bervariasi sesuai bahan. Untuk bahan sutera, per potong mencapai ratusan ribu. "Untuk bahan kelas 2 harganya di kisaran Rp 80.000, lalu katun biasa antara Rp55.000-60.000," ujar Arif yang juga kerap mendapatkan pesanan dari berbagai instansi.
Untuk usaha turun-temurun ini, Arif menyampaikan beberapa kiat sukses. Yaitu, belajar dari kegagalan dan keberhasilan orangtua. "Lalu, terus berupaya untuk terus mengembangkannya. Intinya, jangan sampai pasar meninggalkan kita. Lurik never dies, forever," kata Arif yang akan terus mengembangkan budaya Nusantara.
Henry Ismono