Syamsidar Isa: Tenun Indonesia Paling Kaya Ragam dan Tekniknya

By nova.id, Jumat, 23 Januari 2015 | 04:41 WIB
Syamsidar Isa Tenun Indonesia Paling Kaya Ragam dan Tekniknya (nova.id)

TabloidNova.com - Sadarkah Anda bahwa tiga tahun belakangan semakin banyak masyarakat Indonesia terutama kaum perempuan yang menyukai tenun? Ya, tenun memang mulai digemari, tenun mulai juga diakui keberadaannya. Jika ditelisik, pertumbuhan minat terhadap tenun nusantara seiring banyaknya perancang busana yang mengusung tenun sebagai kreasi karya seninya. Bagusnya, hal ini berkontribusi pada sektor ekonomi industri baik kecil maupun menengah. Sebagai masyarakat asli Indonesia, kita tentu harus berbangga hati, bagaimanapun tenun nusantara kian dikenal secara global dan dilirik banyak masyarakat asing yang tertarik akan keindahan sekaligus kerumitan di balik filosofi pembuatan kain tenun.

Demikian yang dikemukakan Syamsidar Isa, yang mewakili Cita Tenun Indonesia pada acara bincang-bincang "Indonesia Heritage : Bring Tenun to Future" di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta pada Kamis (22/1).

"Tenun sudah banyak diminati, sekarang banyak masyarakat semakin menghargai tenun dengan memakainya. Namun sayang, pengrajin tenun asli nusantara yang tersebar di berbagai daerah banyak tidak diperhatikan sehingga kekayaan warisan teknik pembuatan mungkin bisa punah akibat tidak dilestarikan," kata perempuan yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI).

Saking memesonanya, ternyata tenun nusantara memiliki beragam istilah dan motif yang juga diperkaya teknik masing-masing pembuatannya. Menurut Tjami, panggilan akrab dari Syamsidar Isa, tenun dikategorikan mulai dari lungsi, pakan, double pakan (ikat), sobi, datar (lurik), songket, serta kombinasi ikat dengan songket.

Keistimewaan tenun tidak sampai di situ, tenun mengandung nilai muatan budaya dan kekayaan segi pewarnaan mulai dari petai, indigo, kunyit, kayu mahoni, jamur, dan sebagainya, seperti yang diutarakan oleh Bintan Titisari, Penggiat dan Pecinta Wastra Nusantara yang turut hadir sore itu.

Adapun perbedaan penyebutan tenun di setiap daerah, seperti di tenun Bali (endek), tenun Sambas (sual), tenun Jawa (lurik), tenun Sulawesi (Buton) dan sebagainya. Selanjutnya, tenun asal Gringsing (Bali) juga ternyata harus menempuh waktu selama lima sampai delapan tahun demi membuat satu helaian kain tenun dari pewarnaan alam.

"Parahnya, bukan museum Tekstil Indonesia yang punya tenun berharga asli nusantara, melainkan museum Basel di Switzerland. Pemerintah dan kita sendiri sepatutnya lebih memerhatikan kelangsungan wastra nusantara warisan nenek moyang kita," ungkap Tjami.

Sebelum menutup perbincangan, Tjami juga mengatakan bahwa sebaiknya masyarakat Indonesia mulai berhenti untuk mencoba memberi hak paten tenun Indonesia. Pasalnya, tenun bukanlah milik Indonesia semata, melainkan juga berasal dari China, Thailand, Filipina, dan Afrika. Namun, Tjami pun mengakui bahwa memang tenun Indonesia paling kaya ragam dan tekniknya dibanding negara lainnya.

Tjami pun berpesan, "Perhatikan pengrajin tenun di semua pelosok daerah Indonesia, karena mereka lebih dihargai oleh orang Malaysia sehingga banyak pengrajin lokal Indonesia dibiayai dan dibawa ke Serawak," tutupnya.

Ridho Nugroho

Foto-foto:Eng Naftali/NOVA