TabloidNova.com - Memulai kiprahnya sebagai perancang busana pada 1989, Didi Budiarjo tentu bukan sekadar nama yang patut diperhitungkan eksistensi dan prestasinya dalam rekam jejak industri mode tanah air.
Mengecap pendidikan mode ke Milan, Paris, Didi lalu kembali menelurkan karya hingga menggelar koleksi busana couture 2015 bertajuk Curiosity Cabinet. Mantan murid dari guru besar mode Susan Budiharjo ini terus memberi kejutan dalam rangka memperingati 25 tahun ia berkarya.
Didi yang akan menggelar kreasi kedua dari trilogi karya bertema Pilgrimage, pada Kamis mendatang (15/1) di Museum Tekstil, Jakarta, nampak sangat bersemangat ketika ditemui oleh TabloidNova.com untuk berbagi kisah dan keprihatinannya pada sejarah mode Indonesia.
Diakui pria yang menjadikan semua sosok perempuan terdekatnya sebagai sumber inspirasi, geliat panggung mode kian menemukan puncak keemasannya. Menurut Didi yang berada di gelombang generasi mode tahun 1990-an, mode Indonesia bergerak sangat pesat yang diikuti pangsa pasar konsumen Indonesia yang semakin baik.
"Bagi saya, mode itu memang untuk dinikmati dan membuat seseorang bahagia, jadi tidak sekadar helaian bahan semata. Masyarakat Indonesia kian melek akan mode, mungkin karena faktor kebutuhan gaya hidup dan tuntutan era. Busana kuat relasinya dengan sebuah era," ujar pria yang meraih piala tingkat internasional pertamanya dalan ajang face painting yang digelar di Glasgow pada usia 14 tahun.
Didi pun menambahkan bahwa pergeseran sejarah mode Indonesia sudah banyak terjadi, tapi ini merupakan dinamika yang sangat baik bagi sejarah serta pecinta mode. Didi, yang dijadwalkan akan memamerkan 70 busana koleksinya sejak tahun 1992 hingga 2014 pada gelaran Pilgrimage, memaparkan alasannya.
"Dulu pertengahan tahun 90-an perancang busana malam seperti saya ini hanya dianggap desainer kelas 2. Perancang busana siap pakai malah disebut desainer kelas 1. Sekarang malah sebaliknya, orang lebih menyukai sesuatu yang unik, mendapat sentuhan pribadi dan ditujukan khusus," kenangnya.
Harapan Didi ketika menggelar pameran yang menggaet teman-teman desainer seperti Susan Budiharjo, Adrian Gan, Eddy Betty, dan Sebastian Gunawan, yang dikombinasikan dengan wastra nusantara adalah agar masyarakat Indonesia semakin mencintai warisan budaya lokal dan mengerti proses kreatif di belakang sejarah mode Indonesia.
"Fashion Indonesia itu butuh dokumentasi serta penyusunan archive yang tersusun rapi. Saya tahun 70-an dan 80-an seringkali mendengar nama Artur Tambunan, tapi sampai sekarang belum melihat karya dan dokumentasi sosoknya. Penyebabnya karena fashion Indonesia tidak sadar akan kebutuhan archive yang benar," saran Didi, yang mengidolakan editor mode legendaris Indonesia, Muara Bagdja.
Ridho Nugroho Foto: Agus Dwianto/NOVA