TabloidNova.com - Sebutan "Nggak Eksis" atau "Nggak Gaul" seringkali membuat masyarakat perkotaan merasa khawatir. Ingar bingar metropolitan mau tidak mau membuat banyak individu sering memaksakan diri agar diakui kehadirannya oleh orang sekelilingnya.
Anehnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan para pekerja profesional atau orang dewasa saja, tapi juga pelajar dan remaja. Istilah social climber sendiri mulai populer dua tahun belakangan yang dipicu oleh beragamnya cara seseorang untuk menunjukkan dirinya, mulai dari aktif di jejaring media sosial, hadir di acara-acara keramaian, serta pertemanan dengan sosok terkenal seperti artis atau publik figur.
Ya, social climber atau pencari status sosial secara singkat adalah penggambaran untuk orang yang menggunakan segala cara supaya bisa diterima oleh orang-orang yang memiliki status sosial lebih tinggi. Social climber kerap berkonotasi negatif dan secara subjektif merugikan atau berdampak buruk bagi orang tersebut.
Tolok ukur paling nyata nampak dari penampilan yang menyolok seperti gaya berbusana serta segala fasilitas pendukung. Contohnya gadget dan kendaraan yang mumpuni agar bisa masuk dan menjadi bagian dari komunitas yang diinginkan.
Tapi, perlukah jadi social climber untuk bisa eksis?
"Pada dasarnya, manusia adalah mahluk sosial yang butuh orang untuk bisa hidup dan berkembang. Tapi, semakin lama, akibat dipengaruhi zaman, penafsirannya jadi beda. Biasanya social climber adalah orang yang tidak peduli dan tidak menghargai proses untuk naik ke status sosial yang lebih tinggi," jelas psikolog Mila Budianti, M.Ps.
Semakin hari, orang yang bersikap social climber kian bertambah, antara lain karena tuntutan pergaulan dan tren bersosialisasi untuk dianggap "lebih" oleh orang lain. Namun, social climber dikategorikan sebagai penyakit sosial psikologis masyarakat.
"Sikap berlebihan seperti boros atau membeli dan melakukan sesuatu karena anggapan atau dilandasi orang lain adalah ciri-ciri social climber. Parahnya, hal ini lebih menakutkan ketimbang sikap ambisius yang punya dua makna. Social climber rela mengucilkan individu atau komunitas yang tak selevel dengannya, dan rela menempuh jalan apa saja," ungkap psikolog lulusan Universitas Atma Jaya tersebut.
Pendapat senada diutarakan oleh Ririn (35) yang mengaku pernah tanpa sadar menjadi social climber akibat tuntutan profesi dan pertemanan. Akibatnya, Ririn merasa bukan menjadi dirinya sendiri, sering bersikap labil dan tidak berempati.
"Dulu saya bekerja sebagai PR Manager untuk klinik kecantikan ternama di Jakarta, uang gaji saya habiskan, bahkan ya pakai kartu kredit untuk beli pakaian, sepatu, dan tas bermerek biar percaya diri saat ketemu klien dan tamu klinik. Gadget pun harus gadget kelas A biar tidak malu di depan teman-teman. Sampai ke urusan nongkrong atau lokasi restoran harus di area Menteng, Kemang, Sudirman, dan tempat eksis lainnya," cerita Ririn pada TabloidNova.com.
Demi eksistensi, kaum urban merasa social climber menjadi cara tepat meraih tujuan yang diinginkan. Padahal, menjadi social climber bisa berujung pada sikap pilah-pilih teman serta menjadikan kekayaan di atas segalanya. Lalu, perlukah jadi social climber untuk bisa eksis?
"Masih banyak jalan agar bisa jadi eksis dalam kerangka yang positif. Ibu-ibu muda maupun berusia tua juga banyak yang terperangkap menjadi social climber karena mau dianggap sebagai ibu sosialita. Berkarya, ikut kegiatan positif atau komunitas yang bermanfaat untuk banyak orang adalah solusi lain mendaki status sosial," saran Mila.
Ridho Nugroho