Interpretasi Busana Peranakan ala Lima Desainer Indonesia

By nova.id, Senin, 27 Oktober 2014 | 10:07 WIB
Interpretasi Busana Peranakan ala Lima Desainer Indonesia (nova.id)

TabloidNova.com - Apa yang muncul di benak Anda saat mendengar kata peranakan? Asimilasi tradisi atau akulturasi budaya Cina dengan Indonesia?

Ya, setiap individu tentu memiliki persepsi berbeda akan makna "peranakan" yang muncul karena perkawinan masyarakat pendatang Cina dengan masyarakat lokal dan mengadopsi budaya setempat.

Sama halnya dengan Anda, lima desainer Indonesia juga menerjemahkan peranakan dalam sejumlah interpretasi berbeda yang memesona dan memanjakan mata. Bahkan, perbedaan tersebut hadir tidak melulu lewat kebaya dan kain jawa hokokai, tapi dengan sentuhan modern nan dinamis yang bergaris rancangan siap pakai. Panggung runway IPMI Trend Show 2015 di Bazaar Fashion Festival 2015 yang digelar di Jakarta Convention Center, Jumat (24/10) lalu, dibuka oleh Ghea Panggabean melalui peragaan bertema "The Splendour of Phoenix". Sebanyak 8 busana berpalet merah marun serta detail bordir yang diberi manik-manik tampil menyerupai burung phoenix dan bunga.

Bahan bermotif senada menjadi kanvas bagi Ghea untuk mengkreasikan siluet longgar, H-line beragam ukuran. Ghea juga menawarkan pilihan cocktail dress lewat mini dress tanpa lengan asimetris di sisi belakang, serta permainan bahan sifon transparan asimetris.

Salah satu guru di Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budiharjo, yakni Adrianto Salim, justru menampilkan koleksi yang bertolak belakang dengan koleksi Ghea. Unsur peranakan budaya Tiongkok dan Belanda kental terasa lewat palet putih bersiluet ladylike, A-line yang feminin, dikombinasikan dalam motif bunga dan dedaunan berwarna oranye dan hijau. Pemilihan bahan kanvas, katun, dan organdi nampak serasi kala digubah dalam dress berkerah tinggi, victoria, bertha, dan cheongsam. Kesan flowing didapatkan berkat model lengan yang dibuat berenda dan bentuk lonceng berukuran ¾. Sosok Yongki Budisutisna menyita perhatian karena dinilai berhasil mengombinasikan istilah peranakan yang terdengar konvensional menjadi terlihat lebih dinamis, namun masih dalam garis tema utama. Kontras warna merah dan biru berpadu batik tulis Cirebon mewakili tema "Remembrance" sebagai perpaduan Oriental, Melayu, dan Eropa. Tersemat motif garis horizontal bersama rok lebar A-line berdetail lipit dan sebagainya.

Peony adalah tema yang dipilih desainer Stephanus Hamy yang juga mengusung keindahan motif batik tulis Cirebon. Hamy tetap memegang teguh benang tradisi dengan mengawinkan detail renda, brokat sebagai atasan model kebaya, tunik, blus, serta luaran berkerah panjang yang feminin, lembut, dan anggun. Gaya monokrom satu kontras diterapkan kala Hamy mencampurkan atasan semburat warna putih dengan rok sarung, rok ber-ploi dan rok gore (rok pias) yang dipercantik lilitan obi berukuran sedang dan besar beragam bentuk, senada dengan warna bawahan. Widhi Budimulia menutup peragaan busana lewat koleksi "Bridging Cultures". Cukup berbeda dengan empat rekan lainnya, Widhi memilih elegansi dress dan gaun pas badan berdetail peplum dalam palet putih gading dan off white, yang diberi emboss motif bunga warna emas dan abu silver.

Dekonstruktif busana dimainkan oleh Widhi pada bagian kerah model shanghai, kerah victoria, kerah halter, serta bahu dari bahan jacquard dan organdi.

Ridho Nugroho Foto-foto: Daniel Supriyono