Baru setengah tahun Suzanna tutup mata, pertengkaran keluarga semakin panas saja. Baru setengah tahun Suzanna tPentolan grup band Letto ini punya masa kecil yang menarik. Terlahir dari orangtua yang sangat disiplin, Noe tumbuh menjadi anak yang tidak manja. Dunia kesenian mulai dicicipinya sejak SMA. Siapa sangka, ia yang suaranya begitu merdu ternyata mengaku tak bisa menyanyi.Nama lengkapku Sabrang Mowo Damar Panuluh. Aku lahir pada 10 Juni 1979 di Yogyakarta. Waktu kecil salah satu hobiku adalah mengerjai Ayah, MH Ainun Nadjib. Beliau bercerita sewaktu masih 2 tahun, setiap malam aku punya hobi bangun dan minta diajak melihat kereta api. Alhasil, Ayah yang dikenal orang dengan nama Cak Nun, selalu menggendongku ke stasiun. Kalau belum ketemu kereta, ya aku akan terus rewel dan menangis.Tapi terlepas dari hobiku itu, aku termasuk anak penurut. Ibuku, Neneng Suryaningsih, adalah orang yang sangat disiplin dalam hal pelajaran. Setiap hari aku harus belajar. Ibu lebih suka membelikan aku buku daripada mainan.Nah, setiap Kamis adalah hari yang paling kutunggu-tunggu. Aku boleh membeli satu buku. Ibu rela menyisihkan uang belanja untuk itu. Berkat ketekunan Ibu mengajarku, belum sekolah pun aku sudah mahir membaca dan berhitung. Aku juga tumbuh menjadi anak yang keranjingan buku.Bikin Taman BacaanNah, ketika usiaku menjelang 5 tahun kedua orang tuaku bercerai. Lalu aku ditanya, "Pilih ikut Ayah atau Ibu?" Aku diam. Aku tak tega menyakiti keduanya. Karena itu aku memilih ikut Eyang Kakung di Lampung. Di tempat tinggal baru itu aku masuk ke TK PKK 1 Metro.Tak lama kemudian, Ibu yang tak sanggup berpisah denganku menyusul ke Lampung. Kasih sayang Ibu dalam bentuk kedisiplinan yang tinggi kembali kurasakan. Ia memberikan support untukku dalam pelajaran maupun budi pekerti. Hingga di bangku SDN 7 Metro, Alhamdullilah, aku selalu dapat rangking.Ayah juga tipe yang disiplin. Ia tidak pernah memanjakan aku. Setiap punya keinginan, aku harus bisa memberi penjelasan. Mungkin maksud Ayah, agar aku tahu dan bisa menghargai segala suatu. Tak jarang aku harus berdiskusi dengan Ayah berhari-hari, baru permintaanku diluluskan.Suatu saat koleksi bukuku sudah sangat banyak. Aku usul ke Ibu agar membuat taman bacaan di teras rumah. Cukup membayar Rp 25, teman-teman bisa meminjam buku. Ternyata penghasilanku lumayan banyak, lho, terkadang sampai dapat Rp 825. Uang itu aku pakai untuk jajan, untuk teman yang ikut menjaga tanam bacaan, selebihnya dikumpulkan Ibu untuk membeli buku baru.Supaya taman bacaanku tambah menarik, aku bikin permainan dart. Yang tepat sasaran dapat hadiah. Hasilnya ? Bukan cuma ramai, rumahku dibanjiri anak-anak dari kampung tetangga. Penghasilanku meroket hingga Rp 10 ribu.Suatu hari Eyang bilang, permainan itu termasuk judi. Wah, aku jadi kepikiran terus. Akhirnya permainan itu kututup, keuntungannya dibelikan makanan untuk dimakan ramai-ramai dengan teman dan pengunjung taman bacaan. Nah, jadinya dosanya dipikul ramai-ramai kan. Ha ha ha!Siasat Balas DendamLulus SD aku lanjutkan ke SMP Xaverius, Lampung. Kata Ibu, di sana lebih disiplin. Sama seperti ketika SD, di sekolah aku sangat aktif dan selalu rangking. Bedanya, di SMP aku mulai naksir cewek. Kalau bertemu atau lewat depan rumahnya saja, hati tak karuan. Kupikir, apa ini ya cinta pertama? Tapi, aku tak mau mendekati. Melihatku tanpa perjuangan, sahabatku mengirimi cewek itu surat cinta. Seolah-olah isinya itu aku yang buat. Tapi ya namanya belum jodoh, si cewek menolak.Selain membaca buku, aku suka bermain di sawah. Mulai dari ikut teman ke sawah mencari genjer, ikut ke sawah Eyang, memanen padi, sampai menunggui padi yang dijemur. Tapi yang paling favorit adalah bersepeda. Aku punya cerita 'gila' seputar sepeda. Saat itu aku punya seorang teman yang usil. Ia sering mengempesi ban sepedaku, menabrak hingga mencuri jerujinya. Lama-lama aku sangat marah, bahkan dendam.Suatu saat, aku mengatur siasat. Aku ingin temanku yang usil itu jera dan enggak sombong. Kupikir aku harus membuat sesuatu yang bisa memukul perasaannya. Bak seorang agen rahasia aku menyusun beberapa strategi. Singkat cerita, aku dan sahabatku berhasil. Temanku yang usil itu pun kapok.Tapi setelah peristiwa pembalasan itu aku sangat menyesal. Aku tak menyangka ternyata kerugian yang diderita temanku dan keluarganya gara-gara ulahku itu luar biasa besar. Ya, aku tak perlu menceritakannya, lah. Aku benar-benar menyesal. Ayahku pun baru kuberitahu ketika aku sudah lulus kuliah.Jarang Bertemu AyahKetika duduk di SMA, aku putuskan untuk tinggal di Yogyakarta bersama Ayah. Aku ingin mencoba sesuatu hal yang baru. Bersekolah di tempat yang benar-benar baru. Begitu tinggal sama Ayah, beliau sudah berpesan bahwa Ayah adalah milik masyarakat. Aku sebagai anak tidak bisa memonopoli Ayah.Sekalipun Ayah tinggal satu rumah denganku, tapi aku jarang bertemu beliau. Soalnya kalau Ayah pergi bisa sampai satu hingga dua minggu. Ya, aku cukup paham dengan profesi ayah sebagai seorang tokoh intelektual. Walau jarang bertemu, aku sering berdiskusi dengan ayah. Beliau seperti temanku.Di SMA aku mulai suka musik. Aku lantas kenal dengan Cornel dan Patoeb (sekarang personil Letto). Mereka orang yang musikalitasnya tinggi. Bakat musiknya luar biasa. Dari mereka aku banyak belajar. Karena sejujurnya, sejak kecil aku benar-benar enggak bisa menyanyi. Sampai sekarang pun nada itu ada dimana, aku belum menemukan dalam frame otakku.Kalau aku bisa menyanyi sekarang, itu tak lebih karena hasil latihan. Jadi kalau aku bikin musik, itu benar-benar karena hasil akal, kreasi dari logika.Selain musik, aku juga hobi teater dan pantomim. Bersama rekan-rekanku, Aryan, Krisno dan Siswanto, kami bikin musik puisi kontemporer. Aku membaca puisi dengan iringan gamelan dan kaleng. Ya, pokoknya kami mencari sesuatu yang beda.Rajin BolosBanyaknya kegiatan membuat prestasiku menurun. Aku pernah mendapat rangking ke-32. Kupikir, apa benar otakku sebodoh itu, ya. Kupacu terus diriku untuk rajin belajar lagi. Hasilnya, aku mendapat rangking 5.Di SMA aku juga sering bolos. Partner bolosku yang paling parah adalah Patoeb. Jadi ketika itu teman-teman sering menginap di rumahku. Terkadang, ketika bangun pagi, kami ngobrol-ngobrol, lalu terlintas pikiran untuk bolos bareng. Saking seringnya bolos, aku ditegur guru BP.Suatu hari aku masuk sekolah dan tidak tahu hari itu ada tes IQ. Tetap dong, aku ikut tes. Saat hasilnya dibagikan, aku juga sedang bolos. Jadilah aku harus mengambil sendiri dengan menghadap guru BP. Anehnya, saat bertemu guruku itu malah senyum-senyum. Ternyata hasil tes IQ aku paling tinggi di sekolah. Sejak itu, aku dibiarkan oleh guru BP. Mau masuk atau tidak, terserah. Aku makin senang, lantaran Ayah pernah bilang, lulus SMA aku harus kuliah di luar negeri. Jadi aku tak perlu terbeban harus lolos UMPTN, kan.Tapi lain Ayah, lain pula Ibu. Beliau malah wanti-wanti, pokoknya kalau nilai SMA-ku jelek, aku tak boleh pergi ke luar negeri. Wah, kalau Ibu sudah bicara, terus terang aku paling ngeri. Bagiku Ibu tak terbantahkan. Aku pun langsung membuat strategi mengejar ketinggalan. Bagaimanapun, nilaiku harus bagus!Erni KoesworiniFoto : Fadoli Barbathully