Sekolah Multikultural: Mengajak Siswa Belajar Menghargai Perbedaan

By nova.id, Kamis, 12 Maret 2015 | 04:40 WIB
Sekolah Multikultural Mengajak Siswa Belajar Menghargai Perbedaan (nova.id)

Sekolah Multikultural Mengajak Siswa Belajar Menghargai Perbedaan (nova.id)

"Foto: Dok JIMS "

Fokus utama sekolah multikultural adalah pendidikan bertoleransi dalam menghargai perbedaan budaya antara satu siswa dengan siswa lainnya. Perbedaan budaya ini bukan semata-mata dilihat dari unsur ras, agama, atau adat semata, melainkan juga menyangkut pola hidup dan kebisaaan yang dijalankan setiap siswa sehari-hari, baik di rumah maupun luar. Termasuk pola pikir, pendapat tentang suatu hal, cara makan dan berjalan, dan sebagainya.

"Ada siswa yang di rumah terbiasa makan dengan tangan, ada yang terbiasa dengan pisau dan garpu. Itu bagian dari budaya. Setiap siswa dan guru harus menghargai perbedaan-perbedaan itu, tidak boleh saling memaksakan. Masing-masing siswa, kan, punya kebiasaan yang berbeda di rumah," ujar Principal Primary di Jakarta International Multicultural School (JIMS), Ms. Arpita Majumdar.

Siswa tidak diajarkan bahwa kebiasaan yang berbeda dari kebiasaannya adalah buruk, dan yang sama dengannya adalah baik, melainkan lebih ke soal kebiasaan yang dipilih. Selain itu, siswa juga diajarkan menerima perbedaan sebagai hal yang positif dan mengambil manfaat positif dari perbedaan itu. Misalnya, tutur perempuan berdarah India ini, ada siswa yang terbiasa melihat orangtuanya merokok di rumah, sedangkan siswa lain tidak menemukan kebiasaan itu di rumahnya. Maka, sekolah akan mengajak siswa untuk saling menghargai kebiasaan orang lain.

Dengan mengutamakan pendidikan multibudaya, ketika datang siswa baru, guru biasanya akan bertanya lebih dulu apa saja kebiasaan dalam keluarga siswa yang boleh dan tidak untuk dilakukan, dan kebiasaan yang disukai atau tidak oleh siswa. Sehingga, kesalahan dalam mengenalkan kebudayaan dan kebiasaan siswa yang bersangkutan di kelas bisa dihindari.

Biasanya, siswa sekolah ini berasal dari berbagai negara dengan membawa budaya yang berbeda-beda. "Perbedaan ini justru memperkaya materi pendidikan di sekolah dan pengalaman para siswa. Mereka harus menyadari bahwa memang berbeda, tapi itu harus diterima dengan baik. Siswa yang beragama Islam, misalnya, diberi kesempatan salat Jumat, siswa beragama lain juga diberi kesempatan beribadah," ujar Arpita yang berpendapat pendidikan multikultural sebaiknya dimulai sejak anak masih dikandung ibunya.

Untuk bisa menerima budaya satu sama lain, siswa juga mempelajari sejarah dan budaya negara teman-teman sekelasnya dengan cara yang menyenangkan. Di samping pelajaran utama, karena berada di Indonesia, siswa diberi pelajaran tentang Indonesia, mulai dari sejarah, pemerintahan, dan sebagainya. Selain itu, sekolah seringkali mengadakan acara-acara yang bertujuan lebih mengenalkan budaya para siswanya sepanjang tahun.

Di JIMS, misalnya, ada acara UN Day, di mana 15 kelas yang ada mulai dari tingkat toddler sampai SMA, masing-masing disulap jadi satu booth. Di setiap booth, para orangtua siswa yang berasal dari satu negara tertentu akan menggelar beragam acara menarik. Misalnya, booth Jepang diisi oleh para ibu dari Jepang yang mengenakan yukata sambil mengajari cara membuat sushi. Rombongan para siswa yang masing-masing mengenakan pakaian adatnya akan mendatangi dari satu booth ke booth lain untuk mempelajari beragam budaya yang digelar.

Dengan dibekali pendidikan bertoleransi yang tinggi, siswa bisa menerima hal baru atau berbeda dengan mudah karena pola pikir mereka lebih terbuka. Mereka juga mudah hidup dan beradaptasi dengan baik dengan budaya mana pun di dunia. Sehingga, ketika mereka pindah tempat tinggal ke negara lain, budaya yang berlaku di negara baru bisa diterimanya dengan mudah. Tak heran, ketika kelas mendapat siswa baru, para siswa menyambut dengan semangat dan tak sabar untuk mengetahui budayanya.

Hasuna Dailaylatu