Ibu Pilih Kasih (2)

By nova.id, Rabu, 28 Oktober 2009 | 17:37 WIB
Ibu Pilih Kasih 2 (nova.id)

Ibu Y Yth,

Terima kasih atas kesetiaan Anda dengan Nova, jangan lupa untuk terus membelinya, ya. Harus saya jawab "YA" dengan berat hati bila Anda bertanya, apakah ada ibu yang begitu jelas-jelas membeda-bedakan anaknya. Dan, karena sejak awal kehidupan, seorang ibu adalah sosok yang paling bermakna dalam kehidupan seseorang, maka tingkat ketergantungan yang tinggi pada ibu lalu bisa menjadi sumber tekanan hidup yang demikian beratnya.Ketika sang ibu memanipulasi ketergantungan psikologis anaknya, guna kepentingan-kepentingan yang egoistis sifatnya. Artinya hanya untuk kepentingan si ibu dengan tidak atau kurang mengindahkan keperluan anaknya.

Mengapa wanita bisa melakukan teror mental seperti ini pada anaknya sendiri? Bila secara fisik, wanita memang disiapkan untuk jadi ibu dengan membesarnya pinggul saat hamil, payudara yang berisi ASI, dan rahim yang bisa memuat janin yang bertumbuh, maka secara psikologis tidak begitu halnya.

Padahal, setelah anak ini lahir, selain ASI, maka kesiapan psikologis ibunyalah yang akan berperan banyak pada tumbuh kembangnya si anak. Dan jarang sekali, perempuan yang secara sadar menyiapkan diri untuk ini. Kebanyakan melakukan proses belajar sambil melakukannya. Learning by doing. Tidak heran jika di sana-sini ada banyak kekurangan bahkan kesalahan dalam membesarkan anak.

Akan tetapi, TUHAN Maha Besar Bu, Y, dan wanita pun dikarunai apa yang disebut naluri keibuan, kasih sayang yang tak terbatas untuk anaknya. Sehingga sering kita lihat, apapun akan dilakukan oleh ibu untuk menjaga kelangsungan hidup anaknya, termasuk kelangsungan kesejahteraannya. Lalu, ini dilengkapi dengan pengalaman yang pernah dia peroleh saat diasuh oleh ibunya dan dari apa yang menjadi norma serta nilai kehidupan yang terkait dengan perannya tadi. Sehingga, proses pengasuhan anak, tetap saja bisa berlangsung dengan baik.

Ada ibu yang mempunyai keyakinan bahwa anak laki-laki lebih berharga dibanding dengan anak perempuannya, karena dia meneruskan nama keluarganya, misalnya. Tetapi ada pula yang adat istiadatnya justru mengutamakan wanita. Nilai anak untuk seorang ibu, akan sangat mempengaruhi bagaimana ia mengembangkan pola asuh terhadap anaknya.

Ada juga hal-hal yang lebih subyektif sifatnya, yang menyebabkan ibu lalu lebih care, lebih peduli pada satu anak dibanding anak lainnya. Anak yang sakit-sakitan saat kecil misalnya, biasanya diperlakukan over protective oleh ibunya. Atau bahkan karena wajahnya yang paling mirip ibu sehingga lebih disayang oleh ibunya.

Manusiawi sebenarnya, Bu Y. Tetapi, bila saja seseorang ibu menyadari bahwa perkembangan harga diri dan citra diri anak sangat penting untuk bisa hidup dengan nyaman di masa dewasa, maka ibu itu pasti akan mencoba untuk memperlakukan anaknya dengan lebih bijaksana agar tidak ada yang merasa dibedakan secara diskriminatif.

Di sisi anak, pasti ada saat-saat di mana dia lebih peka terhadap perlakuan ibu yang berbeda pada dirinya dibanding dengan saudara-saudaranya yang lain. Anak wanita biasanya menjelang pra puber, kelas V atau kelas VI SD, dan anak laki-laki di SMP, akan cepat merasa tidak "happy" jika ibu atau ayahnya membandingkan dirinya dengan saudara-saudara lainnya, atau melihat ada perbedaan perlakuan orangtua pada anaknya.

Bila saja komunikasi berlangsung dengan hangat dan dilandasi cinta kasih, anak akan mampu mengekspresikan perasaannya pada orangtuanya. Tanpa takut disalahkan atau dimarahi. Akan tetapi kata-kata sejenis "Jangan mengada-ada, Mama sayang kok, sama semua anak-anak!" atau malah "Ya bagaimana enggak beda, wong Mbak Ami enggak pernah bikin susah mama seperti tingkah kamu?" akan menguatkan keyakinan bahwa anak tidak disayang seperti yang dia harapkan ia peroleh dari orang tuanya.

Tetapi ada juga anak yang memang tumbuh dan berkembang dengan begitu banyak ciri positif dalam dirinya, mandiri, kompeten, dan dapat diandalkan sehingga perlahan namun pasti, ibunya lalu punya sebuah keyakinan dalam dirinya bahwa anaknya ini kuat, bisa dijadikan sandaran dan harus jadi "trouble shooter" dari masalah keluarganya.

Bila saja kemasannya disertai pujian dan penghargaan, pasti anak tidak merasa ini sebagai kewajiban yang berat. Tapi, sebagaimana lazimnya gaya komunikasi ibu pada anaknya, yang lebih sering terjadi adalah instruksi, gaya otoriter dan penuh dengan kata-kata "harus", "mustinya", "sudah sewajarnya", minus terima kasih apalagi kata-kata penghargaan terhadap kelebihan anaknya.