Ibu Pilih Kasih (1)

By nova.id, Selasa, 27 Oktober 2009 | 19:31 WIB
Ibu Pilih Kasih 1 (nova.id)

Bu Rieny Yth,

Nova sudah saya baca sejak masih gadis, dan dari Bu Rieny, saya belajar bahwa menjadi ibu biologis itu lebih mudah dibanding jadi ibu dalam arti utuh (biologis dan psikologis) bagi anak.

Saya tidak pernah membayangkan bahwa masalah terbesar dalam hidup saya ternyata justru dari ibu kandung. Dengan 2 anak yang alhamdulilah tumbuh sehat dan cerdas serta suami yang menyayangi keluarga, saya selalu mencoba menjadi ibu dan istri yang lebih baik. Saya tidak membedakan anak dan ini membuat hubungan kami hangat dan terbuka. Tapi, kok, ibu saya mempraktikan hal yang jauh berbeda pada saya dan adik laki-laki saya (kami cuma 2 bersaudara, Bu).

Ketika air mata ibu tumpah buat saya, itu karena ia marah tidak memperoleh yang dituntut dari saya. Namun limpahan air mata untuk adik karena ibu takut adik tidak punya cukup uang lantaran gajinya kecil. Ibu berurai air mata waktu minta agar rumah BTN yang saya kredit boleh ditempati adik dan keluarganya.

Pusing, Bu! Sebab adik ini selalu "digendong" oleh ibu saya. Kuliah tidak selesai karena harus nikah (pacarnya hamil). Pesta meriah dua kali dengan menjual tanah dan sawah warisan. Setelah bekerja, tiap siang, pulang ke rumah ibu untuk makan siang dan diberi uang transpor. Padahal, sebenarnya lebih dari 3 kali, adik dibantu beli motor secara kredit yang setelah 3-4 bulan lalu dijual atau disita.

Sejak menikah, suami meminta sebagian gaji disisihkan untuk orangtuanya dan orangtua saya. Beda dengan mertua yang anteng, ibu mendesak agar uang bulanan segera dikirim untuk uang sekolah keponakan.

Salahkah kalau saya sudah sampai pada tahap sebal dan benci pada ibu saya? Ayah masih hidup, tapi kehadirannya hampir tidak memberi efek pada ibu yang dominan.Orangtua selama ini tinggal di rumah opa karena ibu, anak tunggal. Tekanan ibu semakin menjadi-jadi, ketika opa mewariskan rumah pada saya. Cucunya memang cuma saya dan adik, sehingga ketika notaris membaca wasiat opa, ibu mencak-mencak karena ternyata rumah yang ditempatinya itu jadi milik saya.

Rupanya opa diam-diam melihat betapa tidak adilnya ibu kepada saya. Berbagai upaya, ibu lakukan untuk membuat saya merelakan rumah untuknya. Suami mendukung saya untuk mengatakan tidak, karena rumah itu akan diatasnamakan adik dan pasti langsung dijual. Baru-baru ini ibu sakit dan dirawat di rumah sakit. Saya tega, lho, Bu, tidak menjenguk, walau tetap membayar biaya perawatan. Saya jengkel! Saya sudah berikan segudang kebaikan dan seabrek uang, tetap saja yang dipuji di depan saudara dan kenalan adalah adik. Saya? Disebut-sebut pun tidak! Sampai-sampai Tante berkomentar, "Aneh sekali ibumu, padahal waktu kecil kamu sangat disayanginya". Tak tahu, Bu, apa yang menyebabkan saya dibedakan dengan adik.

Dan, yang ingin saya tanyakan bagaimana harus bersikap pada ibu? Mengubah benci jadi sayang? Lelah rasanya menghindar terus, karena saya rindu ayah. Kalau ketemu ibu, pasti kami ribut dan saling memaki. Bantu saya Bu, karena saya ingin memperbaiki hubungan dengan ibu. Terima kasih, Bu.

Y-Somewhere