Bu Rieny yang terhormat, Saya mempunyai masalah dalam rumah tangga saya. Sebelumnya, rumah tangga saya baik-baik saja. Hampir 8 tahun saya dan suami menjalani perkawinan, dan kami sangat bahagia. Belum pernah sekalipun kami bertengkar.
Selisih paham sih pernah, tapi cepat baik kembali. Bahkan, boleh dibilang, keharmonisan kami sering membuat orang lain iri, Bu. Akan tetapi, keharmonisan itu kini hilang. Suami yang sangat saya cintai, sangat saya banggakan, karena di mata saya dia suami yang sangat pengertian, sangat menyayangi keluarga dan tidak banyak menuntut, ternyata berselingkuh dengan bibi, istri paman saya. Paman saya berusia 55 tahun, sudah 4 kali menikah dan punya penyakit diabetes. Nah, istri keempatnya inilah yang berselingkuh dengan suami. Usia Bibi sebaya dengan saya, hampir 14 tahun menikah dengan paman tapi belum dikaruniai anak. Tiba-tiba, Bibi hamil dan melahirkan, anaknya sekarang berusia kira-kira 5 bulan. Dari kasak-kusuk tetangga, berita itu sampai juga ke telinga saya. Kabarnya, anak itu hasil perselingkuhan Bibi dengan suami. Serasa disambar petir di siang bolong, Bu. Hati saya hancur, kecewa, ingin menangis dan menjerit sekeras-kerasnya. Seketika, saya jadi sangat benci pada suami yang telah menghancurkan harapan-harapan saya. Belum lagi rasa malu yang harus saya tanggung. Seakan tak percaya, suami tega menyakiti saya. Bagaimana tidak sakit, waktu Bibi melahirkan, sayalah yang mengurusnya. Bodoh sekali sekali ya Bu, dibohongi suami sekian lama kok saya tidak tahu. Setelah semuanya jelas, karena malu pada keluarga besar dan tetangga, saya pun memutuskan pindah rumah, tidak lagi serumah dengan suami. Kini, saya tinggal berdua dengan anak saya. Untungnya, saya punya penghasilan sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan anak saya, meski harus berhemat. Saya sedih, kok nasib saya seperti ini? Mungkin kalau tidak kuat iman, saya sudah bunuh diri, karena tak sanggup menghadapi cobaan. Terkadang saya ingin pergi saja dari kota ini, tapi ke mana? Gairah hidup seakan hilang, yang ada cuma kesedihan, dan hanya putri sayalah yang dapat membangkitkan gairah hidup saya kembali (putri saya pandai di sekolah). Tak henti-hentinya saya berusaha mendekatkan diri pada Tuhan agar diberikan kekuatan dalam menghadapi cobaan ini. Sungguh suatu dilema bagi saya. Kalau perkawinan diteruskan, saya harus menanggung beban penderitaan dan sakit hati. Apalagi kalau membayangkan anak itu besar nanti, yang pasti akan menjadi racun keluarga kami, karena walau bagaimanapun, sewaktu-waktu saya pasti akan bertemu dengan perempuan itu dan anaknya. Terus terang, hati kecil saya ingin bercerai saja. Saya ingin melupakan kepahitan hidup saya dan membuka lembaran baru. Tapi, bagaimana dengan anak saya? Dia sangat dekat dengan ayahnya. Terkadang saya rindu suasana seperti dulu saat bersama suami. Tapi, mungkinkah saya dapat mengalaminya kembali, sementara nyata-nyata dia sudah sangat menyakiti saya? Saya bingung, harus bagaimana bersikap di hadapan orang tua dan saudara-saudara saya. Sekuat tenaga saya berusaha tidak menampakkan kesedihan saya, seolah-olah tabah menghadapi cobaan. Padahal, demi Tuhan, saat sendiri, yang ada hanyalah menangis dan menangis. Saat ini, saya benar-benar merasa sendiri, tak punya teman yang dapat saya ajak bicara. Mudah-mudahan Bu Rieny dapat menampung kesedihan saya. Tolong beri saya saran Bu. Terima kasih. Ny. X - Somewhere
Ny X yang terhormat, Masalah Anda sangat pelik ya, karena ada anak yang dihasilkan oleh perselingkuhan itu dan menyangkut kerabat dekat pula. Bila suami saat ini juga merasa gamang dengan kelangsungan perkawinan Anda, sebenarnya jalan ke arah perceraian akan sukar dicegah. Akan tetapi, bila suami mengakui khilaf dan tetap ingin mempertahankan rumah tangganya dengan Anda, perkembangan masalah akan makin pesat. Bila hal ini yang terjadi, saran saya yang pertama, sebaiknya Anda tidak memperlebar masalah dengan melibatkan Paman ataupun kerabat lain, termasuk memikirkan amat sangat, "Apa kata mereka ya?" Sangat menghabiskan energi kalau kita mendengarkan kata orang, karena pendapat yang terdengar jumlahnya akan sama banyak dengan jumlah orang yang berbicara, yang hanya akan berdampak pada makin bingungnya Anda. Tanyalah kata hati Anda, apa yang sebenarnya Anda mau dan Anda harapkan dari suami dan perkawinan Anda. Masukan ke dalamnya pertimbangan tentang keteguhan suami untuk mempertahankan perkawinan. Kalau ia tampaknya tidak serius dan sukar diharapkan komitmennya, jangan mencoba menegakkan benang basah alias berbuat hal yang sia-sia. Pikirkan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia dengan meniadakan kondisi yang Anda harapkan akan muncul menyertai keputusan Anda. Misalnya, Anda ingin cerai, tetapi bagaimana anak saya yang dekat dengan ayahnya? Atau, saya sangat mencintai suami, tetapi tidak bisa melupakan pengkhianatannya. Bisa juga, baiklah saya akan memulai lembaran baru dengan suami, tetapi bagaimana kalau kelak anaknya itu menikah? Bukankah suami harus menjadi walinya karena ia adalah ayah kandungnya? Tetapi - andai saja - coba dari dulu - ini mestinya, semua kata-kata ini dalam kasus seperti Anda hanya akan melemahkan keberanian menanggung risiko dari keputusan yang akan Anda ambil, Ny X. Sementara terombang-ambing tanpa keberanian membuat keputusan jelas akan berpeluang menimbulkan masalah baru lagi untuk Anda, suami dan anak Anda nantinya! Mari kita lihat kemungkinan pertama, yaitu bertahan dalam perkawinan. Konsekuensi yang menyertai keputusan ini adalah Anda memaafkan perselingkuhan suami.Lalu, bila dari waktu ke waktu Bibi membutuhkan "ayah anaknya," entah untuk merundingkan sekolahnya atau ikut mengurus kalau ia sakit, relakah Anda "berbagi" suami dengan Bibi? Cukup tegarkah Anda untuk mengabaikan saja gosip yang akan selalu menyertai perkembangan dan pertumbuhan anak Bibi tadi, yang pasti akan selalu dikaitkan dengan suami. Misalnya, "Aduh, makin tidak mirip suaminya, ya? Geuning kok, mirip suami si X, euy?" Keuntungannya, anak Anda tidak kehilangan ayahnya, karena rumah tangga Anda tetap utuh. Dan seiring berlalunya waktu, bisa saja gosip akan mereda. Ada pula peluang untuk bisa lebih merasa leluasa, yaitu Anda pindah dari tempat tinggal sekarang, sehingga jarak dengan kerabat terdekat maupun rumah tangga Paman dan istri keempatnya makin jauh. Lingkungan baru seringkali menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan luka-luka perkawinan, karena kita bertemu banyak orang yang baru kita kenal dan mampu memberi suasana yang lain dari biasanya. Bila Anda mengambil keputusan ini, keikhlasan untuk memaafkan suami harus benar-benar terpelihara, sehingga Anda tidak terus-menerus terdorong untuk mengingatkan suami pada penyelewengannya dulu itu, bahkan di saat sedang berselisih paham sekalipun. Jadi, Anda perlu membebaskan diri dari dendam dengan belajar memaafkan secara tulus.. Kemungkinan kedua adalah bercerai. Sanggupkah Anda melanjutkan kehidupan sebagai single parent alias orang tua tunggal? Pekerjaan Anda membebaskan Anda dari masalah ekonomi, dan ini sudah merupakan faktor kekuatan yang sangat bermakna, lo.Banyak perempuan yang harus menanggung kesedihan dan bertahan dalam perkawinan yang buruk dan tak membahagiakan hanya karena secara ekonomis mereka memang bergantung 100 persen pada suaminya. Secara psikologis, siapkah Anda menjadi janda? Sanggupkan Anda menerima kenyataan bahwa Anda kehilangan pria yang Anda cintai selama ini? Bila Anda dan suami bersepakat tentang masalah anak, misalnya kapan ia boleh bertemu ayahnya dan bagaimana biaya hidupnya, sebenarnya secara teknis, anak bisa tetap merasakan bahwa ia tetap punya ayah, walau tinggalnya terpisah. Saya katakan secara teknis, karena kenyataannya, akan ada saat dimana anak juga merasa kangen dan kehilangan ayahnya dan bertanya, "Kenapa sih Papa sekarang tidak tinggal bersama kita lagi? Kalau sekarang ada, aku kan jadi nggak kangen, Ma?" Nah, di saat-saat seperti itu, Anda benar-benar harus tabah dan mampu meyakinkan diri bahwa Anda tidak sedang "menyeret" anak Anda untuk menderita bersama Anda, melainkan mencoba memberinya lingkungan tumbuh-kembang yang lebih ideal ketimbang bila ibunya selalu tidak harmonis dengan ayahnya, karena tidak bisa memaafkan kekhilafan sang ayah. Bila kelak sang ayah menikah kembali, pasti ada pula masalah dengan keluarga barunya, ibu tiri dan saudara-saudara tiri yang belum tentu membuat sang ayah bisa berlaku adil lagi pada anak Anda. Keputusan ini membutuhkan ketegaran Anda, sekaligus keyakinan yang besar bahwa masa depan Anda akan jauh lebih cerah dan menjanjikan, walau di saat-saat setelah perceraian Anda harus benar-benar berupaya menyembuhkan luka hati akibat perceraian .Tabah, tidak mudah goyah oleh gosip atau sikap yang "miring" terhadap seorang janda cerai, dan yang paling penting tidak menarik diri dari pergaulan agar pikiran tidak makin ruwet. Dengan sedih harus saya katakan bahwa, apa pun pilihannya, memang tidak ada yang enak. Maka dari itu, sekali lagi saya ingatkan, dengarkan kata hati Anda, karena seyogianya dialah yang paling tahu apa yang Anda butuhkan dan hidup seperti apa yang Anda ingin wujudkan di dunia ini. Mudah-mudahan Anda tetap bisa berpikir jernih dan membuat keputusan yang tak akan Anda sesali nantinya.Surati saya lagi kalau masih ada kebimbangan ataupun perkembangan baru, ya. Salam sayang.