Bu Rieny yang terhormat, Saya adalah pembaca 'ikutan.' Istri sayalah yang sebenarnya penggemar fanatik Ibu (Terima kasih, RH). Usia saya 26, dan istri setahun lebih muda. Sebenarnya, saya sudah berada di ambang perjalanan menuju apa yang saya cita-citakan dalam hidup maupun perkawinan saya, Bu. Punya pekerjaan yang baru saja saya rintis, baru menikah dengan perempuan yang saya pacari 3 tahun dan membuat saya bersyukur karena tidak salah pilih rasanya. Sebagai hadiah perkawinan, kami mendapat sebuah rumah mungil yang uang mukanya dibayar mertua. Sisanya kami cicil berdua. Kendaraan, walau bukan keluaran mutakhir juga sudah kami miliki. Mungkin sampai sini Ibu akan mengatakan, kok, tidak bersyukur amat, sih, sudah punya semua, masih merasa punya masalah. Benar, Bu, saya memang punya masalah dengan pekerjaan, yang rasanya makin lama makin terasa menekan. Kalau dikatakan mengganggu prestasi kerja, sebenarnya juga tidak. Tetapi sejujurnya, saya merasa makin lama makin tersisih dalam pergaulan antar-teman dan atasan langsung saya di kantor. Sementara kalau ada tugas yang harus diselesaikan, bukankah saya harus bekerja sama dengan teman-teman? Nah, hanya pada saat ada tugas itulah, saya merasa ada interaksi, selebihnya makin lama saya merasa makin sendirian. Kalau sombong, rasanya saya jauh dari kesan itu. Saya juga ringan tangan, kok, membantu bila teman mendapat segudang pekerjaan dengan tenggat waktu penyelesaian yang ketat. Akan tetapi, saya memang tidak bisa mengikuti 'gaya' teman se-divisi yang hampir setiap pulang kantor pasti singgah, entah di kafe atau clubbing. Di hari Jumat, wah, akan lebih hot lagi, Bu. Perlu Ibu ketahui, saya baru saja dipindah ke divisi yang lebih besar dari divisi saya yang lama, dan ini memberi peluang pengembangan karier yang lebih luas, sebenarnya. Tetapi, baru setelah saya pindah, saya ketahui bahwa 'minum' dan kehidupan malam adalah salah satu ciri teman-teman se-divisi. Sejak awal, saya menolak ajakan mereka pergi bersama-sama saat pulang kantor. Walau macet, saya lebih memilih cepat pulang dan kumpul bersama istri di rumah. Lagipula, agama saya melarang minum minuman keras. Tetapi, mereka sering menasihati saya: "Kalau mau menjadi kelompok kita, ikut, dong, Boy, ini, kan, gaya hidup metropolitan dan terutama ini ciri utama kelompok kerja kita. Bekerja keras dan fun harus jalan bareng. Lagipula, kita tak ada yang selingkuh, kok, Boy, cuma minum sedikit dan ketawa-ketawa saja sampai jalanan tidak terlalu macet untuk pulang." Penolakan demi penolakan yang saya lakukan membuat mereka akhirnya berhenti mengajak saya, tetapi ternyata ini dibarengi juga oleh berhentinya ajakan untuk salat Jumat, makan siang, ataupun mengizinkan saya duduk mengobrol bersama mereka saat waktu luang di kantor. Biasanya, mereka akan bubar begitu saya bergabung, atau tak begitu hirau atas reaksi-reaksi ataupun apa yang saya ucapkan. Lama-lama, kan, tidak enak kalau digratisin begitu? Di kelompok itu, ada 2 teman yang masih lumayan mau menerima saya dan berinteraksi dengan saya. Mereka pernah menasihati saya untuk sekali-sekali tetap ikut dan memesan minuman ringan saja. Yang penting, jangan menolak secara total. Mereka juga bersikap lebih ramah kalau pentolan-pentolan 'geng' di divisi kami sedang tak di tempat. Tetapi, begitu kami lengkap berkumpul, suasana tak nyaman kembali menghinggapi saya. Apakah saya salah, Bu? Apakah dalam bekerja, selain mentaati peraturan kantor, kita harus pula mengikuti kebiasa-an-kebiasaan kelompok kita walaupun menurut nilai-nilai yang saya anut, rasanya tidak sesuai untuk saya? Saya ingin tetap bekerja di situ, Bu, karena peluang pengembangan akan lebih besar, tetapi saya mulai resah akan penerimaan teman-teman pada saya. Apakah Ibu punya kiat untuk mengatasinya? Terima kasih. Boy di Jakarta
Boy yang terhormat, Kebetulan, saya baru bertemu intens dengan sekelompok anak-anak muda yang bidang kerjanya periklanan dan event organizer. Jadi, mereka merancang acara-acara perusahaan dengan kreatif dan kemasan hiburan yang menarik. Rata-rata enerjik, gayanya trendi dan tampak benar-benar 'gaul'. Kami akhirnya membuat session tentang apa yang disebut sebagai identitas kelompok, mudah-mudahan saya menerjemahkannya dengan benar, yang dalam bahasa aslinya adalah bagian dari group identity. Artinya, untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok, ada perilaku dan kebiasaan tertentu yang diharapkan tumbuh, berkembang, dan menjadi ciri menetap dari sebuah kelompok, yang kemudian membuat mereka merasa lebih kompak, lebih akrab, dan dampaknya dalam pekerjaan juga positif, yaitu lebih siap untuk saling membantu. Salah satu kebiasaannya, ya seperti yang teman-teman Anda lakukan. Alasan sebagian besar mereka, di tempat mereka happy-happy itu, ada banyak ide bisa muncul dan mereka juga berpeluang untuk melihat kecenderungan (tren) gaya gaulnya orang-orang muda seusia garapan mereka (target group mereka). Beberapa orang mengeluhkan apa yang Anda rasakan, dan kelompok yang lebih besar juga merasa 'terganggu' karena mereka menganggap teman-temannya ini jaim (jaga imej) karena tak mau bergabung dengan mereka. Jadi, pada pandangan kelompok yang tak mau bergabung, mereka sudah menjaga nilai-nilai yang mereka anut dengan benar, dan berharap teman-temannya bisa menghargai perbedaan 'selera' antara mereka. Tetapi, kelompok yang lebih besar mengatakan bahwa itu adalah 'ongkos pergaulan' yang harus dibayar, sehingga kalau tak bergabung berarti memang tak ingin menjadi anggota kelompok. Pembahasan dari hati ke hati yang kemudian berhasil dilakukan membuahkan hasil positif, lo, Boy. Dan beberapa intinya saya ceritakan pada Anda berikut ini. Pada intinya, tak ada orang yang akan merasa nyaman ketika ia merasa ditolak. Saya katakan 'merasa,' ya, Boy, karena mereka yang tak mau diajak happy-happy itu tak merasa sedang menolak temannya, pergi-nya itu yang mereka tolak. Tetapi, bagaimana kita menyiasati mencegah agar mereka bisa 'menangkap' bahwa yang ditolak adalah ajakannya dan bukan dirinya. Kesenjangan inilah yang perlu diselesaikan, tidak dengan sikap kaku dan kokoh pada apa yang diinginkan. Sikap luwes dan terlihat bisa menghargai perbedaan antar-manusia, rupanya adalah kunci penting solusinya. Menolak secara langsung, tanpa basa-basi, rupanya membuat mereka yang mengajak 'merasa' bahwa diri merekalah yang sedang ditolak oleh teman-temannya. Bahkan, teman yang memakai dali-dalil dari ajaran agama yang dianut, mereka juluki 'sok alim.' Ada yang bisa dilakukan untuk mengurangi perasaan ditolak ini, Boy, yaitu dalam kaitan dengan pekerjaan, tunjukkan bahwa Anda siap membantu mereka 'habis-habisan." Buatlah diri Anda benar-benar dapat mereka andalkan untuk pekerjaan yang harus diselesaikan. Kalaulah pada awalnya Anda kemudian 'merasa' bahwa Anda perlu bekerja lebih keras dibanding mereka, anggaplah ini 'ongkos pergaulan' yang Anda bayar, bukan dengan ikut ngafe tadi, tapi dikompensasikan ke pekerjaan. Tidak ada ruginya, lo, Boy, karena dengan cara ini, atasan pasti melihat bahwa Anda adalah anak buah yang andal dan sekaligus dapat diandalkan. Pada acara yang benar-benar istimewa untuk seseorang, misalnya ulang tahun atau merayakan kenaikan pangkat, ikutlah dengan mereka. Kalau dalam 2 bulan Anda hanya ikut sekali, rasanya ini bukan pengorbanan besar, kan? Di sana, jadikan diri Anda sebagai 'seksi repot.' Semisal, ambilah insiatif untuk menuliskan pesanan minuman atau menyampaikannya pada pelayan. Dengan demikian, saat Anda mengutarakan pesanan Anda (air jeruk atau fruit punch, yang penampakannya mirip-mirip minuman mereka tetapi bebas alkohol), akan luput dari perhatian mereka. Bukankah ini beda benar dengan kalau Anda duduk dengan kaku, ada waiter atau pelayan yang datang, semua mengutarakan pesanannya, lalu mereka mendengar dengan jelas Anda pesan air jeruk atau bahkan air mineral! Bukannya langsung mereka akan bereaksi? Kuno-lah, anak kecil-lah, nggak ada nyali-lah, dan sejenisnya. Berikutnya, bila semua orang tampak sudah sangat menikmati suasana yang ada, gembira, tertawa dan rileks, itulah saat Anda mohon diri. Kata orang-orang yang biasa melakukannya, suasana ini segera tercapai, kok, Boy, dan di saat hati sedang gembira, pamitnya Anda tak akan terasa sebagai penolakan secara frontal pada teman-teman. Kesan yang akan muncul adalah waktu Anda yang sempit, bukannya Anda tak mau berada bersama-sama mereka. Yang terakhir, jangan bersikap reaktif terhadap perilaku yang ditampilkan teman-teman sebagai wujud dari ketidaksenangan mereka terhadap Anda. Artinya, kalau mereka cenderung diam, jangan cepat-cepat sakit hati. Justru tetap proaktif-lah untuk mendekati mereka, bicara lebih dulu dan menegur dengan ramah dan ringan, sambil tetap siap membantu. Dengan demikian, sikap positif Anda akan membuat mereka yang judes, mengucilkan, atau meremehkan Anda kemudian akan malu karena Anda tetap bisa berbaik-baik walau sudah diperlakukan tidak nyaman. Biar bagaimanapun, dalam dunia kerja, ada banyak orang lain di sekeliling Anda, termasuk atasan yang lebih 'atas' dari kelompok Anda. Bila Anda konsisten menampilkan perilaku kerja yang baik sekaligus berupaya keras menjaga prestasi kerja, saya yakin Anda akan tetap dilihat sebagai karyawan yang serius bekerja sekaligus loyal pada teman-teman sekerja. Mudah-mudahan, bila dalam kemasan positif ini Anda juga bisa pelan-pelan mengajak teman-teman untuk lebih mengasah nilai-nilai kehidupan yang mereka anut dan mengajak mereka untuk lebih peduli pada aturan agamanya, bukan tidak mungkin kebiasaan ini akan terkikis, dalam arti makin sedikit 'pengikut'nya. Mudah-mudahan Anda bisa lebih nyaman sekarang, jangan berhenti berupaya untuk semakin hari semakin menjadi baik, ya, Boy?" Baik" menurut ukuran agama yang Anda anut, maupun bersikap baik dalam ukuran pergaulan manusia. Pasti ada titik temunya, Boy, karena agama pasti juga mengatur bagaimana kita bisa tetap saling menghormati dan menghargai perbedaan dengan orang di sekitar kita dan bukannya mempertajam perbedaan agar kesan eksklusivitas justru meningkat. Ini hanya akan membuat suasana tegang dan tidak menyenangkan. Tetapi, kalaulah Boy menganggap taktik seakan-akan tidak menolak teman-teman karena kebiasaannyaa, juga merupakan gangguan bagi rasa nyaman Anda, saya juga tak salahkan Boy. Karena ada banyak orang yang karena keyakinannya, memang tak mau, bahkan datang sekalipun ke tempat-tempat seperti itu. Bila Boy berada dalam kelompok ini, maka Boy tetap punya pilihan, yaitu keluar dari pekerjaan sekarang dan mencari perusahaan yang visi dan misinya memang dibangun atas dasar pandangan keagamaan yang kuat. Peluang untuk bertemu orang-orang dengan penghayatan keagamaan yang sama, plus nilai benar-salahnya juga akan lebih terjamin. Memang benar, sih, Boy, kalau pekerjaan tak mendatangkan rasa nyaman, lalu apa yang kita dapat? Uang jelas bukanlah segala-galanya. Tetapi, berpikir realistis tentang sempitnya lapangan kerja hendaknya tetap jadi prioritas. Nah, menyeimbangkan kenyamanan dan ketenteraman batin dengan kemandirian kita dalam menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga pasti merupakan tantangan mengasyikkan, Boy. Salam hangat.