Burhanuddin Muhtadi, Seni Mengkritik Politik (1)

By nova.id, Jumat, 6 April 2012 | 22:32 WIB
Burhanuddin Muhtadi Seni Mengkritik Politik 1 (nova.id)

Burhanuddin Muhtadi Seni Mengkritik Politik 1 (nova.id)
Burhanuddin Muhtadi Seni Mengkritik Politik 1 (nova.id)

"Burhan saat menerima Charta Awards sebagai pengamat terbaik dari lembaga Charta Politika. (Foto: Dok Pri) "

Belakangan ini sering muncul di berbagai acara teve? 

Benar. Saya sering diundang sebagai pengamat politik untuk dua teve berita, Metro TV dan TV One untuk program talkshow dialog politik. Selain itu, banyak juga teve lain termasuk teve kabel yang mengundang saya untuk melengkapi segmen berita. Saya juga kerap diwawancarai media online dan cetak. Terkadang dalam sehari saya memenuhi dua undangan untuk acara program pagi dan malam. Bahkan, pernah juga dapat undangan untuk dua acara yang jam tayangnya bersamaan. Kalau sudah begitu, tentu saya memilih yang lebih dulu mengontak saya.

Pada prinsipnya saya akan memenuhi permintaan teman-teman sepanjang saya memang tahu masalah yang akan dibahas. Kalau tidak memahami, ya, tidak usah daripada mempermalukan diri sendiri. Selain itu, waktunya tidak tabrakan dengan jadwal kegiatan saya. Selain menjadi pengamat, saya mengajar di Universitas Islam Negeri Syraif Hidayatullah, Pascasarjana Universitas Paramadina, dan jadi peneliti sekaligus Direktur Komunikasi Publik di Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Banyak yang menilai analisa Anda jernih, bahasanya tertata, dan berpijak pada teori?

Yang pasti saat menganalisis suatu masalah menyangkut dua kubu yang bertikai, saya tidak boleh memihak. Saya bicara berdasarkan data dan analisis yang obyektif. Dengan demikian, pihak yang saya kritik pun tidak akan tersinggung.

Omong-omong, sejak kapan mulai tertarik dunia politik?

Panjang, ya, ceritanya. Semasa kecil tinggal di Rembang (Jawa Tengah), saya sudah akrab dengan dunia politik. Saat itu saya sering diajak Bapak, H. Muhtadi, mengikuti kampanye PPP. Bapak aktif jadi juru kampanye PPP di masa Orde Baru. Semasa SD itu ada proses internalisasi melalui Bapak. Saya juga sering ikut Bapak menghadiri acara sosial di NU. Bapak juga jadi langganan berbagai media. Saya pun aktif mengikuti perkembangam politik lewat media.

Hal ini terbawa terus sampai saya remaja. Ada ketertarikan terhadap fenomena sosial politik. Meskipun tentu ada persoalan dengan represi Orba yang tidak memungkinkan ekspresi politik bisa disalurkan secara bebas. Selain itu, saya juga menyukai dunia tulis-menulis. Saya rajin menulis buku harian. Nah, kemampuan menulis makin terasah saat saya sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MANPK), Solo (sebuah proyek intelektual mantan Menteri Agama Munawir Sadzali, Red). Saya kerap mengikuti lomba karya tulis. Bahkan, beberapa kali saya jadi juara.

Selanjutnya, menimba ilmu di mana?

Lulus MANPK, saya melanjutkan kuliah di Fakultas Ushuluddin, IAIN, Jakarta (sekarang UIN). Pada saat Ospek, saya menulis artikel tentang penyerbuan kantor DPP PDI. Pas saya datang ke Jakarta momentumnya tepat dengan situasi Jakarta yang bergejolak pasca peristiwa 27 Juli itu. Artikel itu dimuat di Harian Terbit. Hal ini menjadi awal keterlibatan saya dalam mengamati proses sosial politik yang terjadi di Tanah Air.

Namun ada persoalan yang terkait dengan jurusan yang saya ambil. Jurusan yang saya pilih, kan, termasuk konservatif di kampus. Kebetulan IAIN belum membuka jurusan umum. Nah, saat itu di Ciputat (lokasi IAIN, Red.) ada kelompok studi Formaci (Forum Mahasiswa Ciputat) yang didirikan oleh Syaiful Mujani. Syaiful adalah alumni IAIN yang sekarang menjadi Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia.

Henry Ismono / bersambung