Stephanie Hermawan, Furnitur Indonesia yang Mendunia (1)

By nova.id, Kamis, 5 April 2012 | 22:27 WIB
Stephanie Hermawan Furnitur Indonesia yang Mendunia 1 (nova.id)

Stephanie Hermawan Furnitur Indonesia yang Mendunia 1 (nova.id)
Stephanie Hermawan Furnitur Indonesia yang Mendunia 1 (nova.id)

"Stephanie saat merayakan ulang tahun keponakannya yang pertama bersama keluarganya. (Foto: Agus Dwianto/NOVA) "

Senang menjalani bisnis ini?

Iya, senang sekali. Apalagi sejak pindah lokasi showroom ke Mal Grand Indonesia Jakarta sekitar 3 tahun lalu, pelanggan banyak datang, bahkan dari luar negeri. Dari Malaysia, Singapura, sampai London, mereka pesan furnitur saya untuk mengisi rumah mereka.

Sebelumnya di mana?

Sebelumnya, sih, di Kemang. Sebenarnya ekspansi saja karena Kemang semakin lama semakin macet. Sekaligus ingin ambil pasar lebih luas lagi. Ternyata yang beli lebih banyak di Grand Indonesia.

Bagaimana awalnya menjalankan bisnis ini?

Oh ya, sebenarnya saya tidak dari awal berangan-angan menjalankan bisnis ini. Bisa dibilang sejak kecil saya sudah diarahkan keluarga untuk meneruskan Mark Plus (lembaga konsultasi pemasaran milik ayahnya, Hermawan Kertajaya, Red.). Kebetulan Bapak dan Ibu, Suliawati Santoso, hanya punya dua anak. Hanya ada saya dan kakak, Michael Hermawan. Jadi kami diharapkan meneruskan usaha keluarga yang sudah berusia 22 tahun itu.

Setelah saya lulus dengan predikat summa cum laude di usia 22 tahun dari Universitas Michigan Ann Arbor, AS saya kembali ke Tanah Air dan magang di kantor lembaga keuangan.

Lalu?

Sayang, saya tidak terlalu serius di sana. Selama 3 tahun setelah lulus kuliah, saya malah lebih banyak mengeksplorasi apa yang saya mau. Sempat juga bantu-bantu sebentar di Mark Plus, tapi setelah dipikir-pikir sudah ada kakak yang lebih punya "potongan" seorang konsultan. Ha ha ha... Saya, kan, perempuan jadi tidak wajib ikut di sana. Saya pilih menjajal usaha sendiri bersama teman-teman.

Kenapa ingin punya usaha? Ada riwayat pengusaha di keluarga?

Bapak tadinya karyawan dan sekarang konsultan. Jadi, tidak ada latar belakang usahawan. Tapi kalau Ibu memang dari keluarga pedagang.

Siapa saja yang terlibat sejak awal di rencana bisnis ini?

Yang jelas, saya dan tiga teman kuliah dulu memang suka diskusi soal bisnis. Hampir tiap bertemu yang dibicarakan, ya, soal bisnis. Jadi tidak heran kalau bisnis saya sendiri sebenarnya macam-macam.

Nah, saya bersama mereka mengumpulkan modal. Kebetulan mantan teman sekamar saya, Meilinda Sutanto, orangtuanya memiliki bisnis rental property untuk ekspatriat yang tinggal di Indonesia. Ekspatriat ini biasanya datang tidak bawa furnitur. Lalu terpikir, kenapa kami tidak buat rental furnitur saja?

Jadilah saya bikin konsep bisnis rental furnitur dan Meilinda yang mendesainnya. Meski tidak ada background desain interior, dia hobi mendesain dan ada orang lain yang membantu juga. Jadi sebenarnya bisnis ini soal taste saja, kok.

Tak punya pengalaman, bagaimana memulainya?

Awalnya, sih, cari-cari saja. Tidak pakai pasang iklan, pokoknya ada saja sumbernya. Kalau kepentok kami cari lagi sumber baru, begitu seterusnya. Intinya, dijalani saja! Bila perlu kami sampai ke luar kota melihat-lihat material. Tapi sejak awal, material kami memang dari lokal saja. Kalau dijalani perlahan, lama-lama juga akan bertemu jalannya. Yang tadinya dapat beberapa pemasok bahan baku, lama-lama bisa tembus ke pabriknya.

Dan yang tadinya hanya rental, lama-lama banyak juga yang beli. Malah sekarang penjualan lebih banyak dibanding penyewaan. Sewa hanya sekitar 10 persen dari omset saja. Pokoknya, dari jam terbang kami belajar dan jadi mengerti seluk beluk soal furnitur. Namanya berbisnis, kan, harus selalu improve. Sementara soal marketing, sudah sejak kecil saya diajak diskusi soal marketing oleh Bapak. Bapak itu bicara marketing hampir setiap saat, termasuk ketika bersantai dengan keluarga. Jadi saya tahu bagaimana pemikiran Bapak berikut teori marketing-nya. Ha ha ha...

Lalu, apa konsep furnitur yang diusung?

Konsep kami memang jelas berbeda. Di Indonesia, kebanyakan kiblatnya Eropa, dari Eropa klasik sampai yang Eropa modern minimalis. Sedangkan kami lebih ke desain Amerika. Kenapa? Ya, karena kami suka desain Amerika. Jadi bisa dibilang kami membuat furnitur itu untuk kami sendiri. Selain itu, furnitur gaya Amerika itu lebih mementingkan kenyamanan daripada style.

Istimewanya, kalau di tempat lain ada tulisan "jangan diduduki", di Arbor & Troy justru menekankan calon pembeli harus menduduki furnitur terlebih dahulu. Ini karena kami punya aneka pilihan level softness untuk sofa-sofa kami. Menurut kami, kenyamanan itu sifatnya sangat personal, makanya harus dicoba. You don't like it, don't buy it!

Dari banyak orang yang sudah pernah ke showroom kami, banyak yang mengira furnitur kami buatan luar. Kami bangga karena mampu membuat sesuatu yang dibuat oleh Indonesia, untuk Indonesia sekaligus dunia.

Laili Damayanti / bersambung