Cara Menghadapi Si Lapar Mata

By nova.id, Selasa, 1 Maret 2011 | 17:00 WIB
Cara Menghadapi Si Lapar Mata (nova.id)

Meski wajar, anak tetap mesti mendapat penjelasan dan pengarahan. Kenalkan ia pada konsep penentuan skala prioritas.

 "Ma, beliin es, dong!" rengek seorang anak ketika tukang es sore-sore melintas di rumahnya. Belum lagi menghabiskan es, ia berteriak minta dibelikan balon karena kebetulan ada penjual yang lewat. Padahal, tadi pagi ia sudah minta dibelikan semangkuk bubur ayam, lalu siangnya es krim dan sepiring ketoprak. "Orang tua mana yang enggak sebal? Soalnya, cuma mintanya aja, kok! Kalau dimakan, sih, enggak apa-apa!"

Lapar mata alias selalu ingin mendapatkan apa yang ada di depan matanya, kata Vitriani Sumarlis, S. Psi. dari Yayasan Pantara, sepintas tampak sebagai sesuatu yang negatif. "Padahal, buat anak usia ini masih tergolong wajar karena merupakan tahap perkembangan yang mesti dilalui anak." Soalnya, anak prasekolah selalu ingin tahu sekaligus ingin memiliki sesuatu yang dianggapnya menyenangkan. Termasuk ketika ia minta dibelikan aneka jajanan atau mainan yang dilihatnya. "Dalam psikologi, hal semacam ini dinamakan egosentrisme, mengingat anak masih memandang segala sesuatu dari sudut pandangnya saja dan sama sekali tidak dari sudut pandang orang lain." Makanya, ketika menginginkan sesuatu, harus terpenuhi. Lihat tukang jajan lewat, ia berharap bisa mendapatkan dan menikmati jajanan itu dan ingin tahu, apa, sih, rasanya.

Toh, kata Vitriani, orang tua tak perlu khawatir sifat ini akan menetap karena secara perlahan anak akan belajar dari lingkungannya. Tentu saja orang tua mesti mengarahkan agar sifat tersebut tak berdampak negatif terhadap perkembangan kepribadian si anak.

SKALA PRIORITAS

Untuk mengatasinya, kata Vitriani, mesti dicari lebih dulu faktor yang memperkuat perilaku tadi. Lingkungan, misalnya. Kalau ibu atau pengasuhnya suka jajan, ya, pasti si anak ikut-ikutan. Apalagi jika di sekitar situ banyak tukang jualan. Beda, misalnya, dengan temannya yang tinggal di komplek perumahan yang tak banyak dilewati orang berjualan.

Di sisi lain, pengaruh media berupa beragam iklan yang membanjiri stasiun teve dan media cetak dengan tampilan menggiurkan, pasti membuat anak tergoda membeli barang-barang tersebut. Semisal karena melihat iklan es krim dengan lagu khasnya di TV. Nah, begitu ada penjual es krim dengan lagu yang sama lewat di depan rumahnya, ia langsung ingin membeli.

Yang terbaik, saran Vitriani, adalah mengenalkan konsep skala prioritas dalam bentuk yang paling sederhana pada anak. Dengan demikian ia bisa belajar menentukan, jajanan mana yang betul-betul ingin dibelinya, hingga tidak sepanjang waktu semua jajanan mau dibeli. Sampaikan juga pada anak soal reward. Semisal, "Kamu boleh jajan kue itu kalau kamu sudah tidur siang."

Cara lain yang juga bisa ditempuh, sediakan makanan yang disukai anak. Jika memungkinkan, libatkan anak dalam proses pembuatannya. Kue-kue buatan sendiri pasti lebih bersih, sehat dan menyenangkan anak, lo!

JANGAN BERI UANG JAJAN

Adalah sangat tidak bijaksana, kata Vitriani, jika anak usia ini diberi uang jajan. "Belum saatnya. Toh, dia belum paham benar nilai uang, apalagi memintanya mengatur sendiri penggunaan uang tersebut." Soalnya, ada, kan, orang tua yang tak mau direcoki anak karena bolak-balik mau jajan, lalu mengambil praktisnya dengan memberi sejumlah uang pada anak.

Lagipula dorongan "lapar mata" ini sebaiknya juga jangan selalu dituruti. Memenuhi semua keinginan anak, hanya akan membuat egosentrismenya kian menjadi. Ia jadi menganggap, segala sesuatu bisa didapatnya hanya dengan rengekan.

Selain jadi konsumtif, anak pun sama sekali tidak belajar mengasah kemampuannya memilah-milah sekaligus menentukan pilihan. Akibatnya, ia terbiasa gemar membeli barang-barang yang sebenarnya kurang dibutuhkan. Ia pun cenderung tumbuh jadi pribadi cuek yang tak memikirkan kondisi keuangan orang tuanya. Memprihatinkan bukan?

Saeful Imam