TabloidNova.com - Beberapa waktu lalu seorang buruh migran Indonesia, Maesaroh, ikut dalam aksi damai yang digelar oleh sekitar 250 buruh migran Indonesia yang digelar di area Victoria Park Hong Kong. Aksi damai itu dilakukan Maesaroh bersama teman-teman senasibnya sebagai bentuk solidaritas untuk mendukung pembebasan Satinah. Buruh migran Indonesa yang kini tengah menanti hari eksekusi mati dirinya di Arab Saudi.
"Hukuman mati atas Satinah dijadwalkan pada 3 April besok. Jika uang diat sebesar 7 juta riyal atau lebih dari Rp21 miliar tidak terbayar untuk keluarga majikannya," ujar Maesaroh.
Ia dan teman-teman seperjuangannya di negeri orang berharap, "Satinah bisa bebas sepenuhnya dan hanya pemerintah yang bisa melakukan itu. Selidiki kasus Satinah dengan cermat, dan teliti apa yang melatarbelakangi kematian majikannya, Nura al Gharib," tutur Maesaroh.
Aksi solidaritas yang mereka lakukan itu bertepatan dengan pelaksanaan pemilu di luar negeri. Di Hong Kong, pemilu diadakan di Victoria Park dan beberapa titik lainnya. "Partai politik dan caleg yang mengaku membela buruh migran tapi tidak melakukan apa pun untuk membantu Satinah, tidak layak didukung," tandas Maesaroh.
Ia menambahkan, peserta aksi damai memakai baju warna hitam dan menutup mulut dengan lakban hitam sebagai tanda berkabung. Kondisi langit yang mendung dan gerimis di lokasi itu tak menyurutkan semangat mereka.
Parade aksi damai itu pun berlangsung selama 30 menit dengan menampilkan street theater yang menggambarkan kolusi antara Pemerintah Indonesia, agen TKI, PJTKI, dan majikan yang jahat. Aksi solidaritas terhadap Satinah ini tentu saja menarik perhatian buruh migran lain, dan orang-orang lokal di sekitarnya.
"Satinah bukan pelaku kriminal tapi korban kemiskinan dan kegagalan negara dalam menyediakan lapangan kerja, serta penelantaran negara. Segera selamatkan dia, jangan ditunda lagi. Selama pemerintah tak mau serius memperbaiki perlindungan pekerja rumah tangga migran Indonesia di luar negeri termasuk Arab Saudi, tidak mau meratifikasi dan mengimplementasikan konvensi ILO dan PBB sebagai standar internasional, membuat MoU, perjanjian kerja yang jelas dan mengikat, akan ada korban selanjutnya seperti Aminah binti H Budi, Siti Zaenab, Tuti Tursilawati, Darmawati, Ruyati, Kikim Komalasari, dan yang lain-lainnya tanpa bisa dicegah lagi," papar Maesaroh.
Dengan adanya tekanan dari berbagai organisasi ini, pada detik-detik terakhir eksekusi mati terhadap Satinah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun akhirnya bersedia bernegosiasi dengan ahli waris Nura al Gharib.
Akan tetapi, hasil kesepakatan ini hanya untuk menunda hukuman pancung bagi Satinah lebih lama dua tahun, dengan pembayaran uang penundaan eksekusi sebesar 5 juta riyal atau setara dengan Rp15.186.900.000 (lebih dari Rp15 miliar). Namun penundaan itu tidak mengurangi tuntutan semula keluarga majikan atas uang diat sebesar 7 juta riyal.
Intan Y. Septiani/ANTARA