Di sebuah rumah di kawasan Bantul, Yogya, terlihat beberapa orang penderita cacat fisik tengah bekerja. Dua perempuan yang berjalan dengan bantuan tongkat penyangga, sibuk menghaluskan mainan anak-anak yang terbuat dari kayu. Di sudut lain, seorang pria, juga cacat, mengepak mainan yang sudah siap dijual.
Hanya beberapa ratus meter dari situ, berdiri megah ruang pajang milik Taryono Slamet (35), yang diberinya nama Mandiri Craft. Di situ, barang-barang kerajinan karya para penderita cacat itu dipajang. Ada mainan anak, ukiran, wayang, dan lainnya. "Sebagian besar karyawan saya memang disabled, selebihnya normal. Perbandingannya, 5 banding 1," ujar Taryono yang memiliki 30 karyawan.
Sengatan Dahsyat
Kata Taryono, perjalanan usahanya tak beda jauh dengan kisah hidupnya yang penuh gelombang. Lajang kelahiran Batang (Jateng) ini semula dikaruniai fisik sempurna. Kecelakaan kerja membuat ia harus kehilangan sebagian kaki kirinya. Dua tangannya juga menjadi tidak sempurna. "Dulu, saya karyawan PLN bagian Instalasi," kata Taryono yang kala itu berkantor di Sleman.
Satu hari di tahun 1988, belum genap setahun bekerja, ia dan dua rekannya mendapat tugas memperbaiki instalasi listrik di kawasan Ceper. Dengan menggunakan tangga, mereka naik tiang listrik untuk mengganti trafo. "Teman saya, Saelan berada di atas, saya tengah, dan satu teman lain di bagian bawah," kata anak ke-2 dari 4 bersaudara pasangan Cainah dan Casmunan ini.
Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba terdengar bunyi letusan keras yang disebut Taryono terdengar sampai radius 10 km. Pria tamatan STM jurusan Mesin ini mengaku merasakan sengatan yang sangat kuat di tubuhnya. Taryono yang saat itu kedua tangannya memegang rantai terpelanting dan tak sadarkan diri. Tahu-tahu, ia sudah berada di RS Klaten.
Rupanya, akibat sengatan listrik yang berkekuatan dahsyat itu, sebagian tubuhnya seperti kena luka bakar. "Memang bukan luka bakar, tapi kedua tangan saya mengebul. Belakangan saya tahu, sebagian sarafnya tidak berfungsi lagi. Kedua tangan saya tidak normal lagi, tangan kanan tak bisa dipakai untuk menulis. Bagian kaki lebih parah lagi. Sakitnya luar biasa. Bayangkan, waktu itu saya, kan, pakai sepatu. Nah, sepatu itu sampai lengket dengan tulang," lanjut Taryono yang kemudian dirawat di RS Sardjito.
Banyak yang Senasib
Yang membuatnya semakin sedih, seminggu kemudian ia baru tahu, rekannya Saelan, tewas di lokasi kecelakaan. Satu lagi rekannya juga cacat kedua tangan dan kakinya tak bisa ditekuk. Nasib Taryono tak kalah tragis. Tak ada jalan lain, kaki kirinya di bawah lutut harus diamputasi lewat tiga kali operasi. "Rasanya hidup saya tak berarti lagi," kisahnya.
Kala itu, "Dunia rasanya gelap. Kaki tinggal sebelah, dua tangannya juga tak sempurna lagi. Sungguh saya merasa putus asa. Sampai-sampai, selang infus saya lepas pakai mulut. Setelah itu, saya paksakan turun dari ranjang untuk terjun lewat jendela," kata Taryono yang kala itu dirawat di lantai dua. Beruntung niatnya itu diketahui perawat yang segera menghalanginya. "Beberapa kali saya mencoba bunuh diri, tapi selalu ketahuan. Saya benar-benar depresi."
Kedatangan para sahabat dan kerabat untuk menghiburnya, tak mampu melumerkan hati Taryono yang sudah terlanjur patah. Sampai akhirnya ia dikunjungi dua pria cacat fisik dari Yakkum. "Saya pun jadi sadar, ternyata banyak orang yang senasib. Mereka juga membesarkan hati saya. Katanya, hidup saya masih berarti buat orang banyak."
Enam bulan dirawat di RS, akhirnya Taryono boleh pulang. "Saya enggak pulang ke kota asal, tapi berkunjung ke Yakkum. Niatnya beli kaki palsu, tapi malah dikasih gratis. Setelah beberapa hari berlatih, saya bisa berjalan dengan kaki palsu," kenang Taryono seraya tersenyum.Henry Ismono