Peni juga mengajar di SMP khusus anak tunanetra di Surabaya. "Sebelumnya, saya harus kuliah dulu selama setahun untuk memperoleh sertifikat mengajar. Waktu kuliah di Universitas Negeri Surabaya itu, saya masuk sepuluh besar di antara ratusan mahasiswa yang bermata normal, lo."
Kegiatan mengajar, tuturnya, terpaksa dihentikan karena usaha garmennya memerlukan perhatian penuh. Bahkan Chamim Chudori, suami Peni, memilih mundur dari kantornya demi membantu mengelola usaha garmen mereka. Sang suami, kata Peni, selalu mendukungnya. "Padahal, saya dulu khawatir, apa dia tidak malu punya istri buta? Saya benar-benar beruntung mendapat suami seperti dia," ungkap anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Kol (Purn) Subiyakto (75) ini.
Dengan langkah mantap dan tegap, Peni terus menjalani hari-harinya kendati dalam kegelapan. "Justru dengan kekurangan ini, saya semakin meyakini betapa besarnya kekuasaan Tuhan. Bayangkan saja, hanya dengan kekuatan pikiran, kadang saya bisa tahu seperti apa postur tubuh lawan bicara saya. Teman-teman yang sudah buta sejak lahir, biasanya juga memiliki kemampuan itu," kata Peni yang rajin melakukan salat tahajud dan berzikir di sela-sela kesibukannya.
Berulang kali pula ia bertutur, tak pernah berhenti mensyukuri segala yang dialaminya. "Percayalah, seberat apa pun cobaan dari Tuhan, kalau kita ikhlas menerimanya, tidak akan terasa berat, kok," katanya dengan bijak. Gandhi Wasono M