Kisah hidupku memang begitu sendu. Saat dikenalkan kerabatku dengan suamiku Parlaungan Pulungan, dulunya aku tidak menyangka itulah jodohku. Padahal, saat itu aku sedang punya pacar. Entah mengapa begitu dilkenalkan, kok lama-kelamaan aku jatuh suka padanya. Walau tak bisa dipercaya tapi aku merasa sudah terhipnotis olehnya. Aku saat itu berumur 27 tahun. Sementara suamiku berusia 41 tahun dan sudah berstatus duda empat anak, karena istri pertamanya meninggal. Tentu saja, ketika aku mengutarakan akan dipersunting olehnya, orangtuaku menolah mentah-mentah. Karena sudah kebelet cinta dan serasa tak ingin dipisahkan lagi, aku dan suamiku mencari jalan bagaimana bisa dapat mengayuh hidup berumah tangga.
Akhirnya jalan keluar 'terbuka'. Aku dan suami menikah di kampung halaman kami di Panyabungan (Tapanuli Selatan), Jumat (7/4/05). Walau tak direstui orangtua tapi pernikahan kami sangat sakral dilakukan saat itu. Setelah menikah, suamiku yang sudah memiliki rumah di Panyabungan, mengajak aku untuk tinggal di rumahnya. Jadinya, aku makin meninggalkan keluargaku di Medan. Aku sudah tak memikirkan restu dari orangtua lagi. Karena aku sudah terlanjur menikah dengannya.
Hari-hari yang kulalui bersama suami sama seperti yang dirasa oleh pasangan suami istri yang baru menikah. Suamiku sehari-hari berprofesi sebagai supir bus Medan-Jakarta. Namun, ternyata kebahagiaan sebagai suami istri yang kurasakan tidaklah berlanjut lama. Baru empat bulan menikah aku sudah diterpa kabar tak sedap. Keluarga suami memfitnahku. Aku dituduh selingkuh dengan Paman (suami). Bahkan, gosip murahan itu juga diperkuat dengan pengakuan anak tiriku, Fadila Nadia, saat ditanyai ayahnya. Tentu saja aku makin terpojok.
Diusir dari Rumah
Walau aku sudah bilang tak mungkin melakukan itu. Tapi, suamiku tetap tak percaya padaku. Perselingkuhan itu tidak ada sama sekali! Tapi, suami begitu cemburu membabi buta. Bahkan, hampir seminggu kami bertengkar terus.
Jadi, segala prilakuku, anaknya disuruh memantau. Suamiku memang jarang pulang ke rumah. Paling kalau pulang sepuluh hari sekali. Otomatis apa yang diutarakan anaknya itulah yang benar. Tanpa menanyakan dulu padaku. sampai pada suatu hari suamiku tetap mengusirku dari rumah.
Belakangan aku tahu kalau aku digosipkan berselingkuh dengan paman suami, karena keluarga mereka tak senang aku menikah dengan suami. Bahkan aku dengar istri paman ingin menjodohkan suamiku dengan adiknya.
Aku pun kembali ke Medan. Baru beberapa hari disana, aku ingin tahu kabar suamiku. langsunglah aku mengecek keberadaannya di stasiun bus tempatnya bekerja. Begitu aku ke kantornya, tak lama aku ketemu dengannya. Namun, tanpa disangka-sangka bukannya menyapaku dia malah memukuliku bertubi-tubi. Mulai dari tangan, kaki, mulut sehingga aku tak bisa makan sebulan. Bahkan kepalaku dibenturkan ke dinding. Itu juga tak cukup sekali. Dengan kondisi babak belur aku berusaha keluar dari terminal. Anehnya, tak seorang pun teman-teman suami berusaha untuk menolongku. Walau sudah babak belur tapi syukurlah aku tak sampai berdarah-darah. Begitu tiba di rumah kakakku, keluargaku terkejut melihat kondisiku.
Sebulan kemudian, aku masih ingin mencari suamiku. Toh, aku kan masih istrinya. dia harus bertanggung-jawab. Maka, aku mencari ditempat kerjanya. Namun, begitu ketemu, suamiku kembali memukuliku, menjambak rambut dan menendangku. Mau melawan rasanya sudah tak mampu. Lagi pula untuk apa melawan suami yang sudah seperti orang kesurupan itu. Setelah puas menghajarku di depan teman-temannya, aku pulang ke rumah. Begitu seterusnya yang dilakukan suami jika aku mencari di tempatnya kerja.
Aku kemudian mulai merenungkan diri. Tak bisa selamanya aku begini. Kebetulan ada tetangga dekat rumah seorang wartawan. Wartawan itu menyuruhku melaporkan suami ke kantor polisi. Karena sudah tak tahu lagi harus berbuat apa, rasanya itulah jalan terakhir. Aku ditemani keluargaku lalu melapor ke kantor Polsek Patumbak. Lantas, polisi menyuruhku melakukan visum et repertum sebagai barang bukti. Praktis sampai jam 01.00 dini hari aku berada di kantor polisi.