Kalau Aku Mati Suamiku Telah Membunuhku 1 (nova.id)
Kalau Aku Mati Suamiku Telah Membunuhku 1 (nova.id)
"Hanya satu keinginan Daisy, bertemu putri tercinta. "
Tanpa Surat Esoknya, aku mengadakan pertemuan di lobi hotel Shangri-la dengan Tengku Anissa untuk membicarakan tanggal perkawinan. Kata Anissa, mufti (ketua agama) telah menentukan hari baik, yaitu 26 Agustus 2008. Aku terperanjat! Itu terlalu cepat! Mana mungkin mengurus semua persiapan dalam waktu seminggu? Apalagi, pernikahan ini melibatkan dua calon pengantin yang berbeda kewarganegaraan. Aku, kan, juga perlu waktu untuk memberi kabar kepada sanak-saudara dan membawa mereka ke Kelantan. Perasaanku tak karuan saat itu. Namun Anissa meyakinkan aku, itu hanya acara pernikahan saja. Datuk Wan Hassan bilang, Ibunda Raja tidak setuju dengan pacaran. Aku masih ingat yang mereka katakan, "Nanti pasti akan kita buat acara yang sama di Indonesia, 10 kali pun tidak apa, asal dengan orang yang sama." Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Aku dibantu Pak Imran yang masih ada hubungan keluarga untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Pak Imran memberi beberapa persyaratan yang harus kupenuhi. Salah satunya, surat dari wali dan Kantor Urusan Agama di Jakarta. Berhubung waktuku tidak banyak, aku tidak bisa menyediakan surat-surat itu. Konsekuensinya, KBRI tidak bisa mengeluarkan surat izin nikah. Di sisi lain, pihak Istana menyatakan, acara pernikahan harus tetap berjalan sesuai titah Raja. Raja sendiri yang meyakinkan, setelah pernikahan diadakan di Malaysia, mereka akan melaksanakan pernikahan di Indonesia, sesuai aturan di Indonesia dan memenuhi segala keperluan. Di lain pihak, mufti mengatakan, pernikahan tanpa wali adalah tidak sah, tetapi Manohara bisa menunjuk dan memberikan kuasa padanya untuk menjadi wali dan menikahkan mereka. Sungguh, aku masih tidak paham sekaligus khawatir. Putriku baru berusia 16 tahun dan akan menikah tanpa surat dari wali dan KBRI. Ah, rasanya hatiku cemas. Sita Dewi