Setelah rumah terbawa hanyut dan korban nyawa berjatuhan, yang ditinggalkan pun tak lepas dari trauma. Evi masih takut mendengar gemericik air, sementara Oscar tak berdaya menjadi sebatang kara setelah kehilangan istri dan 4 buah hatinya.Hingga sepekan setelah jebolnya Situ Gintung, Cirendeu, Tangerang, sebagian korban masih menghuni lokasi pengungsian di lantai tiga gedung Fakultas Kedokteran Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta. Meski ruangan ber-AC dan makan serhari-hari serba dicukupi, tetapi bagi Evi Afriani (24) tetap saja tak nyaman"Namanya juga tempat pengungsian, segala sesuatunya harus berbagi dengan yang lain. Suasananya juga enggak bagus buat anak saya, Keysha Ramadhani (1,5). Hanya siang hari saya, Keysha, dan suami tinggal di pengungsian. Malam, Keysha saya ajak mengungsi ke rumah orangtua saya di Ciputat. Suami tetap tidur di pengungsian," tuturnya.Kini Evi tengah mencari-cari kontrakan rumah. "Saya benar-benar trauma. Enggak mau lagi tinggal di sana meski kami selamat dari musibah. Biar saja mengontrak lagi. Rumah yang selama dua tahun ini kami tinggali di RT 04/RW 08 juga cuma kontrak, kok."Panjat PohonKaryawan perusahaan asuransi itu bersyukur, keluarganya selamat dari musibah. Ia menceritakan perjuangannya menyelamatkan diri bersama Keysha dari gulungan air bah."Sejak subuh saya sudah mendengar suara gemuruh. Saya minta suami menengok keluar. Tapi dia hanya menengok dari jendela. Saya pikir banjir lagi seperti sore sebelumnya. Kali Pesanggrahan, kan, ada di belakang rumah kami. Suami saya bilang, enggak ada apa-apa. Dia mengunci jendela lagi. Tapi selang sebentar, saya dengar teriakan tetangga, 'Situ Gintung jebol!'. Saya langsung menggendong Keysha."Namun dalam hitungan detik, tiba-tiba tembok kamar mandi roboh. "Air bercampur lumpur masuk, melempar kami hingga depan rumah." Berhubung tak bisa berenang, Evi mengoper anaknya ke gendongan Agung, suaminya. "Sambil menggendong anak, Mas Agung berenang. Saya memegangi badannya karena enggak bisa renang. Mas Agung membawa kami sampai ke pohon petai di seberang rumah. Saat itu arus air belum begitu kencang."Saat menginjak batang pohon petai, Evi merasa pohon itu tak akan kuat menahan beban tiga orang. "Saya lalu minta suami agar membawa kami lagi ke pohon mangga di seberang pohon petai. Tapi baru bergerak, kaki suami saya terlilit kabel listrik. Dia kesetrum dan Keysha terlepas dari gendongan ayahnya. Saya panik waktu Keysha tenggelam. Tapi entah kekuatan dari mana tiba-tiba Keysha muncul dari bawah air lagi. Mas Agung cepat meraihnya. Saat itu anak saya terlihat tidak sadar, celananya juga sudah lepas."Terdorong ingin menyelamatkan anak-istri, meski dengan kaki kaku Agung terus berenang hingga ke pohon mangga. "Setibanya di pohon mangga, tenaga saya rasanya sudah habis. Tapi karena terus didorong suami, akhirnya saya bisa memanjat pohon mangga. Setelah aman, Keysha saya gendong. Mas Agung tetap berada di air memegangi kami. Kira-kira sampai sejam lamanya. Keysha sampai menggigil. Waktu itu air sudah bergelombang keras kayak tsunami. Rumah-rumah saya lihat sudah rata dengan air, pohon bertumbangan terseret arus."Dari pohon mangga Evi melihat tetangganya, Dede, bersama keluarga bertengger di genting rumahnya. Saya lalu minta tolong Pak Dede agar menyelamatkan anak saya untuk dibawa ke dataran yang lebih tinggi. Mas Agung lalu membawa Keysha ke Pak Dede yang kemudian berenang ke tepi."Setelah air agak surut, Evi dan suami mendapat pertolongan dari beberapa mahasiswa UMJ yang datang membawa pelampung. "Kami bisa bertemu kembali dengan Pak Dede dan Keysha. Saya berterima kasih padanya karena Keysha sudah dimandikan dan diberi baju kering."Kendati keluarganya selamat dan anaknya dalam kondisi sehat, Evi mengaku trauma tinggal di Cirendeu lagi. "Selamat tinggal Cirendeu," katanya.
Rini Sulistyati