Duka Keluarga Maulina

By nova.id, Kamis, 31 Juli 2008 | 10:06 WIB
Duka Keluarga Maulina (nova.id)

Duka Keluarga Maulina (nova.id)

"Foto : Edwin Yusman, Dok. Pribadi "

Berharap mendulang rupiah di Ibu Kota, Lina rela meninggalkan masa remajanya untuk menjadi PRT. Sayang, cita-citanya harus berakhir di tangan sang majikan.Namanya jodoh, rezeki dan maut sudah pasti rahasia Yang Kuasa. Begitu pun yang dirasakan Musimin (46) dan Suwartinah (45) ketika melepas kepergian putri kesayangan mereka, Septiana Maulina (15), ke Jakarta medio Oktober 2007 silam. Demi menambah penghasilan keluarga, Lina, begitu putrinya biasa dipanggil memutuskan untuk berhenti sekolah lalu mulai bekerja.Memang, sebagai pemecah batu, penghasilan Musimin tak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya yang tinggal di kawasan Wangon, Banyumas itu.Namun, bila cuma mengandalkan ijasah Sekolah Menengah Pertama (SMP) Lina sadar tak banyak pilihan lahan pekerjaan bagi dirinya. Menjadi PRT adalah jalan satu-satunya yang diketahui sulung dari dua bersaudara ini. "Ketika itu dia bilang ingin bekerja untuk membantu keluarga dan menyekolahkan adiknya, Lardianto (8). Adiknya kan laki-laki, Lina berharap dia bisa sekolah sampai STM. Karena laki-laki adalah kepala rumah tangga," kenang Suwartinah.Awalnya Lina ingin menjadi TKI, tapi sang ibu melarang. Suwartinah takut kalau si anak menjadi korban penganiayaan seperti yang banyak diberitakan media massa, "Memang hasilnya lebih besar dengan menjadi TKI, tapi risikonya juga besar." Sesaat Suwartinah terdiam, lalu kembali melanjutkan ucapannya. "Tapi ternyata menjadi TKI atau enggak, anak saya tetap menjadi korban penganiayaan. Bahkan sampai kehilangan nyawa," tukasnya lirih. Kini masa-masa indah berkumpul bersama Lina setiap hari raya tinggal kenangan bagi keduanya.TAK PERNAH DIGAJIMenceritakan kembali prahara yang menimpa Lina, air mata Musimin dan Suwartinah tak henti berlinang. Tak pernah terbayangkan sang anak harus pergi dengan cara seperti ini. "Saat mendapat kabar Lina meninggal, rasanya tak percaya. Hati ini seakan teriris-iris. Apalagi kalau mendengar cerita dari teman sekerja Lina di Jakarta, Sartini dan Anisa," terang Suwartinah ketika ditemui di rumahnya yang sangat sederhana dan masih berlantai tanah, Jumat (25/7).Bisa dibayangkan betapa tragisnya penderitaan yang dialami Lina sebelum akhirnya meninggal. Sartini dan Anisa cerita pada Suwartinah, majikannya (Renata Tan) jarang memberi mereka makan. Kalau suami Renata datang, ketiga pembantu itu baru dikasih makan dua kali sehari. Kalau tak ada suaminya, mereka baru bisa makan jam 12 malam."Pantas ketika saya melihat jenazah Lina, kok berbeda dari yang terakhir kali saya ingat. Memang wajah dan beberapa bagian tubuhnya bengkak akibat luka. Tapi kaki dan tangannya jadi lebih kecil dari sebelumnya. Ketika ditimbang saja berat badannya hanya 40 kilo. Padahal dulu sebelum bekerja beratnya 49 kilo," papar wanita berambut ikal ini.Selama Lina bekerja, tak pernah sekalipun Suwartinah dapat melihat putrinya. Pasalnya setiap kali datang ke rumah tempat Lina bekerja Suwartinah tak diizinkan bertemu anaknya. Renata selalu melarang dan bilang, takut Lina nanti malah minta pulang. Sampai-sampai sang adik, Lardi, menangis di depan pagar rumah Renata karena tidak bisa bertemu kakaknya.Komunikasi dengan Lina pun dikatakan Suwartinah sangat dibatasi. "Lina enggak pernah telepon atau kirim surat. Kalau saya telepon dia selalu sedang bekerja, padahal pernah saya telepon itu malam-malam." Terakhir Suwartinah ngobrol lewat telepon dengan putrinya adalah awal bulan lalu. Saat itu Lina bilang mau dibawa majikannya ke Singapura selama lima hari. "Ketika saya tanya bagaimana kerjanya, betah atau tidak, dia enggak cerita banyak. Dia cuma bilang kalau Lebaran nanti dia mau pulang kampung saja. Saya curiga bahwa ada majikannya di samping dia, makanya dia enggak bisa cerita banyak."Dalam kesempatan itu pula, Suwartinah sempat meminta bantuan uang kepada Lina untuk pengobatan kakeknya yang sedang dirawat di rumah sakit. Namun, Lina bilang sama sekali tak ada uang. Ucapan Lina itu membuat diri Suwartinah tambah curiga. "Setelah tanya kepada teman-temanya saya baru tahu bahwa ternyata Lina enggak pernah digaji. Padahal, awal Lina masuk dijanjikan akan digaji Rp 400 ribu perbulan. Setelah empat bulan bekerja, gajinya akan dinaikkan menjadi Rp 500 ribu."MERASA BERSALAHKarena takut terjadi apa-apa, akhir 2007 lalu Suwartinah kembali pergi ke tempat Renata dan menyampaikan keinginannya untuk membawa Lina dan rekan-rekannya kembali pulang kampung. Tapi niat itu dicegah oleh Renata. "Dia (Renata) malah bilang, jangan percaya sama omongan orang. Anak juga jangan dimintain uang melulu, ntar enggak bisa pulang kampung karena enggak ada uang."Di sudut hatinya yang terdalam, Suwartinah menyimpan rasa bersalah telah mempercayakan Lina serta dua rekan sekampungnya bekerja di rumah Renata. "Saya memang enggak tahu kalau dia pernah melakukan hal seperti ini juga. Kalau tahu, pasti enggak saya kasih Lina kerja di situ. Saya enggak bawa Lina ke Jakarta," ungkapnya kembali berurai air mata. "Saya nyesel. Kasihan. Kok, anak saya dipukuli sampai mati. Mengapa orang bisa begitu sadis. Anak saya dipukuli dan disiram air, anak saya menjadi korban. Saya saja orangtuanya enggak pernah. Saya sayang sekali pada Lina."Terlebih jika Suwartinah mengingat 29 September depan, Lina akan genap berusia 16 tahun. Potongan-potongan kenangan indah ketika masih bersama terkadang melintas di kepalanya. Senyum Lina masih terlihat jelas di matanya. "Lina itu pendiam dan enggak macam-macam anaknya. Makan juga gampang. Dia cuma enggak suka makan ikan, karena dulu waktu kecil pernah keselek duri."Di rumah, Lina rajin membantu pekerjaan orangtuanya. "Dia juga rajin menabung, uang jajan yang setiap hari saya kasih selalu dikumpulin sama dia. Kalau saya butuh uang, dia ambil tabungannya untuk saya. Prestasinya di sekolah juga lumayan bagus. Hanya saja saat lulus-lulusan kemarin dia enggak lulus karena nilai pelajaran Bahasa Inggrisnya rendah. Akhirnya dia ikut ujian susulan dan lulus."Meski hidup kekurangan apapun yang diinginkan Lina sebisa mungkin dipenuhi Suwartinah. Misalnya, kalau Lina ingin sepatu, baju atau celana model terbaru sebisa mungkin sang ibu membelikan. Bahkan kadang tanpa sepengetahuan suaminya. Ketika Lina memulai pekerjaan barunya, "Saya membelikan dia baju, celana dan pakaian dalam baru."Adakah firasat sebelum kepergian Lina ? "Ada. Beberapa hari sebelum Lina meninggal, foto Lina yang tergantung di ruang tengah mendadak jatuh. Saat itu saya pikir terkena angin saja. Senin (21/7) malam lalu saya juga bermimpi Lina pulang, wajahnya putih bersih. Dalam mimpi saya itu dia bilang ingin membeli rumah. Ternyata memang benar, dia sekarang sudah punya rumah sendiri."Ya, kini apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Anak yang kelahirannya ditunggu-tunggu sampai 5 tahun usia pernikahan pun pergi untuk selamanya. Suwarti dan Musimin menyerahkan semua urusan pada aparat berwenang. Hanya saja, jika ditanyakan kepada mereka apa hukuman yang pantas bagi pencabut nyawa Lina, "Hukuman yang terberat. Nyawa dibayar nyawa," tegas Musimin.

EDWIN YUSMAN F