Kisah Pasien Terlantar

By nova.id, Rabu, 23 Juli 2008 | 10:33 WIB
Kisah Pasien Terlantar (nova.id)

Kisah Pasien Terlantar (nova.id)

"foto: Romy Palar/NOVA "

Pemandangan tak biasa terlihat di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Lantai dasar jadi ruang perawatan darurat. Kenapa?

Sekitar 26 pasien dan keluarganya istirahat di sebuah ruang. Ada yang mengeluh perutnya sakit, ada yang tiduran tak sanggup bersuara lantaran rahangnya sakit, ada juga yang penglihatannya tidak begitu awas. Jangan salah, pemandangan yang terlihat bukanlah suasana bangsal rumah sakit. Namun, itulah pemandangan di lantai dasar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, sejak Selasa (15/7) lalu. Para pasien keluarga miskin itu terpaksa terlantar di sana, setelah Ruang Instalasi Rawat Inap (Irna B) RSCM, tempat mereka istirahat belakangan ini, tidak boleh ditempati lagi."Sekarang saya memang tinggal di sini, diajak keluarga pasien yang lain. Habis tempat lama harus dikosongkan. Saya, sih, ikut saja," ujar Fatimah (50) penderita katarak yang belum lama menjalani operasi. Wanita yang sosoknya tampak lebih tua ketimbang usianya ini mengaku sempat empat hari menjalani rawat inap setelah operasi. Ketika kondisinya sudah lebih baik, ia mesti menjalani rawat jalan.Fatimah yang masuk RSCM dengan fasilitas keluarga miskin (gakin) ini masih harus menjalani pemeriksaan lanjutan secara berkala. Namun, ia tak mungkin pulang ke kampung halamannya di Indramayu, Jawa Barat. Ia juga tak sanggup menyewa tempat di Jakarta selama menjalani perawatan. Itulah yang membuatnya menginap di Ruang Irna B, RSCM, bersama pasien gakin lainnya. Ketika ruangan tak boleh lagi ditempati, ia pun terpaksa mengungsi ke LBH, Jakarta.JADI TUKANG PIJATNasib Fatimah memang tidak begitu beruntung. Sekitar 30 tahun lalu ketika hamil anak kedua, matanya mulai bermasalah. Di daerah asalnya, ia mengaku sudah berobat ke mana-mana, tapi tidak juga membaik. Kondisi kemiskinan yang mendera juga membuat hidupnya benar-benar memprihatinkan. "Dua anak dan suami saya meninggal karena sakit. Saya enggak tahu persis, penyakit yang membuat mereka meninggal. Maklum saya orang desa yang bodoh," lanjut wanita berparas mungil yang tak kenal bangku pendidikan ini.Kerabatnya di kampung, kisah Fatimah, banyak yang mengadu nasib ke luar daerah. Tinggallah ia sebatang kara di rumahnya yang juga sangat sederhana. Demi menyambung hidup, "Saya sering dapat zakat dari orang-orang kaya.. Selain itu, saya mencari nafkah dengan menjadi tukang urut. Biaya pijat, serelanya orang saja. Ada yang ngasih Rp 5 ribu, terkadang ada yang memberi Rp 10 ribu," papar Fatimah.Dengan uang yang didapat, lanjut Fatimah, ia berobat ke Puskesmas dan rumah sakit dekat ia tinggal. Sayang, karena peralatan rumah sakit tempatnya berobat tak lengkap dokter tak sanggup mengoperasi matanya. Lalu, ia dirujuk berobat ke RSCM di Jakarta.Fatimah sempat kelimpungan. Dari mana ia dapat biaya? Persoalan juga muncul karena ia tak punya saudara yang bisa mengantarnya. Dengan segala keterbatasan, ia tetap berjuang mencari kesembuhan. Ia memperoleh informasi penting tentang berobat gratis dengan catatan punya surat keterangan orang tak mampu. Sendirian ia mengurus surat-surat sebagai persyaratan berobat gratis.Beruntung salah satu warga bernama Piil, bersedia mengantarnya ke Jakarta. Begitulah, sebulan lalu berbekal "surat tak mampu" Fatimah ditemani Piil berobat ke RSCM. Dengan biaya sewa mobil Rp 150 ribu dari kampungnya, ia tiba di RSCM jam 06.00. Fatimah pun diperiksa dokter tanpa mengeluarkan biaya. Tapi, ia tidak bisa segera operasi. Ia mesti menjalani beberapa pemeriksaan. Salah satunya rontgen. "Usai rontgen, saya ngantuk dan tertidur. Eh, begitu bangun, Pak Piil sudah tidak ada. Rupanya dia kabur. Sebenarnya saya minta tolong Pak Piil untuk menemani selama perawatan," katanya.Langsung saja Fatimah kebingungan. Saking bingungnya, ia hanya bisa menangis. Saat itulah ia dihampiri Alwani (22), yang tengah menemani pamannya periksa kesehatan. Alwani, pemuda asal Palembang, berusaha menenangkan Fatimah. Mendengar cerita Fatimah, Alwani jatuh iba. "Ceritanya yang sebatang kara, membuat saya sangat iba," kata Alwani. Sejak itu sampai sekarang, ia terus menemani Fatimah menjalani pemeriksaan walau pamannya sudah kembali ke Palembang.SEPERTI SAUDARAFatimah diajak Alwani istirahat di Irna B. "Di sana, jadi tempat menginap pasien yang nasibnya sama seperti saya. Banyak yang dari luar kota, ada pasien dari Bogor dan Jakarta. Karena senasib, kami jadi seperti saudara," papar wanita berparas mungil ini yang hanya membawa beberapa baju, mukena, dan uang sekadarnya ini.Beberapa kali ia menjalani pemeriksaan seperti jantung, cek darah, dan kondisi fisik. Saat kondisinya sudah bagus, ia pun menjalani operasi katarak, masih terus ditemani Alwani.Operasi berjalan lancar, tapi, Fatimah mesti secara berkala kontrol dokter. Sambil menjalani pemeriksaan lanjutan yang jadwalnya kadang seminggu sekali, Fatimah terus tinggal di ruang Irna B itu.Perempuan yang belum sanggup melihat jelas ini memang ingin kondisi matanya benar-benar membaik sebelum memutuskan pulang kampung. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, ia menawarkan jasa pijat. "Lumayanlah bisa untuk makan. Sering juga saya dapat makanan dari keluarga pasien lain," kata wanita yang rajin menjalankan salat lima waktu ini.Namun, Fatimah tidak bisa seterusnya menginap di Irna B. Pihak RSCM memutuskan mengosongkan tempat itu karena gedung akan direnovasi. Fatimah mengaku sempat kebingungan. "Enggak tahu mau ke mana lagi. Kembali saya ditolong Alwani dan keluarga pasien lain. Akhirnya, saya berkemas-kemas dan pindah ke sini (kantor LBH, Jakarta)."Fatimah juga tidak mengerti sampai kapan ia tinggal di sana. "Setelah sehat, baru saya akan pulang. Terserah Alwani saja, kapan akan mengantar saya. Soalnya, saya juga sudah tidak punya ongkos," katanya lirih.JANGAN TERULANG LAGINasib para pasien terlantar, kini ditangani YLBHI. Febi Yonesta, pengacara publik YLBHI menyesalkan kebijakan RSCM yang menelantarkan para pasien ini hanya karena alasan renovasi gedung. "Sebenarnya, nasib pasien harus lebih dipentingkan," katanya yang menerima pengaduan dari keluarga pasien Selasa (15/7) sekitar pukul 14.00. Febi dan rekannya di YLBHI sudah mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM.Menurut Febi, RSCM tidak hanya merawat pasien tapi juga menyediakan fasilitas tempat untuk keluarga miskin ini. "Kami mengharapkan RSCM akan mengupayakan tempat penampungan. Inilah yang juga diharapkan pasien," ujar Febi.Dalam kesempatan terpisah, Poniwati Yacub, SKM, Humas RSCM mengatakan tak mungkin pihaknya menyediakan tempat penampungan buat mereka. Sebab, "Status pasien ini adalah rawat jalan, bukan rawat inap. Untuk pasien rawat jalan, mereka tidak boleh menginap. Kami tentu memprioritaskan pasien yang mesti rawat inap," katanya.Poniwati menegaskan, tidak benar RSCM mengusir pasien seperti telah diberitakan media. "Kami sampaikan kepada pasien dan keluarganya, ruang Irna B mesti dikosongkan karena kami akan merenovasi. Jadwalnya, tahun ini mesti selesai. Dan ingat, sebenarnya Irna B bukanlah ruang perawatan buat pasien."Dikisahkan Poniwati, ruang Irna B semula memang tempat rawat inap. Namun, karena gedung akan direnovasi, pasien dipindahkan ke Gedung A yang baru saja diresmikan Presiden. "Keluarga pasien mulai menempati ruang itu. Awalnya kami mengizinkan tapi dengan catatan hanya sementara. Ternyata, bukan hanya keluarga pasien yang menginap di sana. Tapi, pasien rawat jalan pun tinggal di sana. Sesungguhnya, tempat itu juga sudah tidak layak untuk pasien."Untuk keluarga pasien, sebenarnya RSCM menyediakan rumah singgah. "Tapi, tempatnya memang terbatas, hanya ada 84 kamar. Di sana penuh terus. Kami berharap kasus seperti ini tidak terulang lagi."

Henry Ismono