Tirta Mandira Hudhi (1): Mengubah Budaya Merawat Sepatu

By nova.id, Sabtu, 25 Juni 2016 | 05:31 WIB
Tirta mandira Hudi (nova.id)

Tabloidnova.com - Sejak kuliah di Fakultas Kedokteran UGM, Jogjakarta, ia sudah mulai menjalankan berbagai usaha. Sempat bangkrut dua kali, rezekinya ternyata muncul dari sepatu. Ia membuka usaha jasa membersihkan sepatu dan sukses.

Aku lahir dari sebuah keluarga yang cukup secara ekonomi. Meski begitu, kedua orangtuaku selalu mengajarkanku untuk tidak berutang untuk kepentingan apa pun, termasuk untuk menunjang bisnis. Barangkali itulah yang membuat usaha yang aku geluti saat ini bisa berkembang dan memiliki omzet lumayan per bulannya.

Namaku Tirta Mandira Hudhi. Aku lahir di Solo, 30 Juli 1991 lalu. Ayahku, Sutarjo, dan ibuku, Yohana Slamet, sama-sama bekerja di sektor perbankan. Toh, sekalipun keduanya bekerja di sektor perbankan, mereka tidak pernah mengajrakan anak-anaknya untuk berutang atau mengambil kredit di bank. Lebih-lebih ayahku, yang bekerja di sebuah BPR, keras melarangku untuk mengambil kredit di bank.

Belakangan, aku mengerti alasan orangtua tidak membolehkan anak-anaknya mengambil kredit di bank. Soalnya, akan susah untuk mengembalikan, sebab bunga bank yang tinggi justru akan memberatkan dan akhirnya kami yang bakal kesusahan. “Pelajaran” itulah yang aku terima dan selalu kusimpan dalam hati.

Aku memang punya usaha. Dan, usaha yang kutekuni itu terus berkembang karena aku tak pernah mengambil kredit di bank. Bisa dibilang, aku tidak pernah berutang seumur hidup.

Usaha Bangkrut

Aku memulai menjalankan usaha sejak menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2009. Menjadi mahasiswa kedokteran saat itu memang banyak kebutuhannya, mulai dari membeli buku yang terhitung mahal, alat praktek, dan kebutuhan lainnya. Pengeluaran untuk kuliah dan kebutuhan sehari-hari cukup tinggi.

Jadilah, aku memutuskan untuk mencoba berbisnis. Aku mencoba memulai berbagai jenis usaha, mulai dari fashion, informasi dan teknologi, dan sepatu. Awalnya, bisnis-bisnisku berjalan baik dan omzet yang kudapat pun rumayan. Hinga akhirnya, tepatnya setahun kemudan, usahaku bangkrut. Tidak hanya sekali, tapi usaha lainnya pun ikutan bangkrut. Aku jatuh dua kali bangkrut antara tahun 2010-2011 lalu.

Banyak hal yang kupelajari dari usaha pertamaku. Aku sempat terpuruk dan hanya punya uang Rp700 ribu di saku. Uang itu akhirnya kugunakan untuk bertahan hidup. Sebetulnya aku bisa meminta uang pada orangtua, tapi keinginan itu kuurungkan dengan alasan malu. Ya, jelas malu, karena aku sudah niat berusaha tapi masih minta ke orangtua. Akhirnya aku memutuskan bertahan dengan uang Rp700 ribu selama dua bulan.

Uang itu kugunakan untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari. Dengan uang segitu, otomatis menu makananku setiap harinya pun tidak mewah. Seringnya aku hanya menyantap nasi telur untuk menahan lapar. Tapi pernah juga aku makan roti basi selama dua minggu berturut turut. Kondisi ini mengingatkanku pada perkataan Steve Jobs dan Bob Sadino. Dua tokoh bisnis itu mengatakan, jika ingin menjadi orang sukses harus bisa bertahan atau survive dari kondisi yang menyulitkan.

Syukurlah, akhirnya aku mendapat rezeki dua bulan kemudian dan bisa bertahan hidup lagi. Bangkit dari kebangkrutan adalah awal yang baru di kehidupanku. Aku harus terus bertahan. Kuliah dengan kebutuhan hidup yang tidak sedikit membuatku harus memutar otak. Akhirnya kukumpulkan kembali sepatu-sepatu yang tersisa dan sepatu bekasku. Kubersihkan lalu kujual sepatu-sepatu itu.

Tahun itu, di Jogja memang belum banyak ditemukan penjual sepatu sehingga uang hasil penjualan sepatu yang kuperoleh cukup banyak. Setelah semua sepatu itu terjual, ternyata pembersih sepatuku masih banyak.