Tabloidnova.com - Sepasang suami istri terlihat berhati-hati memasukkan kue berwarna coklat tua keemasan ke dalam kemasan plastik. Setelah wadah terisi penuh, mereka menumpuknya di sudut ruang dan memberikan catatan kecil nama pemesan kue.
"Ini namanya kue carang emas dan menjadi favorit kue untuk Lebaran. Kemarin baru kirim ke Taiwan, pesanan teman-teman buruh migran disana," kata Krisna Hadi, pemilik usaha kue.
Krisna bersama istrinya, Ani Sugianti (28), adalah mantan buruh migran. Kini keduanya membangun usaha kue kering di rumahnya, Dusun Jatisari, Desa Wringinagung, Kecamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Krisna bertugas memasarkan kue-kue buatan istri. Kerabat mereka, yang sebagian besar mantan buruh migran, turut membantu pembuatan kue.
Krisna hanya mempromosikan kuenya melalui akun Facebook. Ia pernah menjadi tenaga kerja Indonesia sejak tahun 2006, sedangkan Ani sejak 2007 saat usianya berusia 18 tahun.
"Sudah dua kali kontrak dan untuk satu kali kontrak selama 3 tahun. Kalau saya di pabrik, kalau istri di rumah tangga jaga orang jompo," kata Krisna.
Bagi Krisna, tantangan terberat bagi para buruh migran adalah ketika kembali ke Tanah Air.
Jika mereka tidak membuka usaha, maka sebagian besar dari mereka akan memilih kembali lagi ke luar negeri jika tabungan sudah habis.
Awalnya Krisna merintis usaha travel penjemputan TKI di Indonesia. Kini pilihannya jatuh pada usaha pembuatan kue.
Ani mengatakan, pada mulanya ia menjalankan usaha kue kering ini sebagai usaha sampingan karena bosan tidak ada kegiatan di rumah. Ia belajar membuat kue-kue kering dari ibunya dan dari situs Youtube di internet.
"Saya kalau pakai handphone buat cari-cari manfaat dan akhirnya liat Youtube caranya buat kue. Kalau gagal sudah terlalu sering," katanya sambil tertawa.
Pernah suatu ketika ia gagal membuat kue carang emas. Padahal ia menghabiskan lebih dari 20 kilogram lebih ubi jalar sebagai bahan baku.
Karena selalu gagal, suaminya sempat menyuruh Ani untuk berhenti bereksperimen membuat kue.
Dengan modal Rp 200.000, ia memberanikan diri untuk memulai bisnis kue kering tersebut.
Saat ini dia memproduksi beraneka jenis kue, seperti carang emas, kuping gajah, stik cokelat, stik gurih, akar kelapa, pastel abon, kacang telur, kacang bawang, dan kacang tolo.
Selama pekan minggu di bulan Ramadhan, Ani sudah menerima pesanan hingga mencapai 4 kuintal. Mereka sampai kewalahan dan sudah menutup pesanan karena tenaga produksinya kurang.
Pengiriman kue ke wilayah Malang, Blitar, Madiun, Yogyakarta, Jakarta, hingga Lampung. Ada juga yang diterbangkan ke keluarga buruh migran.
"Yang pesan masih bekerja di luar negeri dan kuenya dikirim untuk keluarganya buat Lebaran. Tapi ada juga yang dikirim langsung ke luar negeri buat obat kangen kampung halaman. Walaupun lebih mahal ongkos kirimnya, mereka tidak masalah," jelas Krisna.
Krisna mencontohkan, satu kardus berisi kue senilai Rp 500.000 dengan berat maksimal 6 kilogram, dikirim ke Taiwan dengan ongkos kirim hingga Rp 1 juta.
Dia dan istrinya membanderol harga antara Rp 40.000 dan Rp. 75.000 per kilogram sesuai dengan jenis kuenya. Keuntungannya bisa mencapai Rp 15 juta.
Suami-istri tersebut juga bekerja sama dengan beberapa buruh migran lain yang tergabung dalam Keluarga Buruh Migran Indonesia (KAMI) Banyuwangi, yang juga membuat kue kering jenis oven.
Salah satunya adalah Siti Umaiyah (43), asal Desa Benculuk, Kecamatan Cluring. Selama bulan puasa, ia dibantu 15 orang, sebagian besar adalah mantan tenaga kerja wanita. Mereka sudah membuat hampir 6 kuintal pesanan kue khas Lebaran.
"Kalau yang jenis goreng-gorengan di Mas Krisna dan Mbak Ani. Kalau khusus oven di tempat saya. Hampir 80 persen pesanan kue adalah dari teman-teman buruh migran. Ada yang dikirim ke kampung halamannya atau dikirim ke luar negeri untuk dikonsumsi sendiri," kata Siti, yang juga pernah menjadi TKW.
Sama seperti Ani dan Krisna, sejak kepulangannya dari Taiwan, Siti merintis usaha kue kering dan mengajak rekan-rekannya mantan buruh migran di sekitarnya. Modalnya dari tabungan mereka selama bekerja di luar negeri.
Suami Siti saat ini masih di luar negeri dan tahun ini akan kembali ke Banyuwangi. Mereka berencana membesarkan usaha tersebut bersama-sama dengan mengajak kerabat tetangga dan teman mantan TKW.
"Kalaupun mau membuka usaha sendiri juga enggak apa-apa. Kami belajar bersama-sama agar mandiri dan tidak perlu balik keluar negeri," kata Siti.
Ira Rachmawati / Kompas.com