Tak siap menjadi ibu dan perubahan hormon yang drastis membuat Pungky Prayitno mengalami Post Partum Depression (PPD). Mulanya, berbulan-bulan ia berjuang melawan depresi ini sendirian, sampai nyaris membunuh bayinya, Jiwo. Ia juga nyaris bunuh diri. Tapi, ia berhasil bangkit dan berjuang untuk sembuh sekaligus membuka mata sang suami, Topan Pramukti.
Aku dan suamiku menikah pada 2011. Tahun itu juga, aku hamil. Mas Topan asli Cilacap, Jawa Tengah, sedangkan aku asli Depok, Jawa Barat. Kami bertemu karena sama-sama kuliah di Purwokerto. Dia kakak angkatanku di jurusan yang sama, yaitu Jurusan Komunikasi. Bisa dibilang, kami cukup nekat karena menikah di usia muda. Usiaku baru 21 tahun, sedangkan Mas Topan yang empat tahun lebih tua, baru bekerja. Praktis, tidak ada saudara yang tinggal di Purwokerto.
Kebetulan, sejak sebelum menikah aku sudah ngeblog. Nah, saat hamil, aku bilang pada Mas Topan aku ingin jadi parenting blogger, ngeblog tentang dunia anak, kehamilan, dan lainnya. Pendek kata, selama hamil aku sibuk menyiapkan yang indah-indah. Selain baju, aku juga membayangkan pose seperti apa yang akan kuambil ketika anakku berfoto untuk ditampilkan di blog. Bayiku sendiri lahir secara normal dengan berat 4,5 kilogram tahun 2012.
Sebenarnya tidak terlalu sakit saat melahirkan, tapi mungkin karena ini pengalamanku yang pertama dan aku agak “norak”, maka perasaanku tak karuan rasanya. Apalagi, aku harus melewati masa kontraksi selama 15 jam dan mengejan untuk mengeluarkan bayi sebesar itu. Meski sempat terbawa perasaan, aku masih bisa tertawa-tawa karena banyak suster yang membantu. Teman-teman dan keluarga kami pun berdatangan menjenguk.
Ditambah, aku sudah bisa berjalan karena melahirkan secara normal. Di rumah sakit, aku sempat berjalan-jalan dengan teman-teman. Hampir seisi rumah sakit heboh, melihatku yang baru saja melahirkan bayi seberat itu tapi sudah cekikikan dalam waktu singkat.
Sampai di rumah, barulah aku seolah mengalami “jetlag”. Tak ada dokter dan suster yang membantu kami. Hanya ada aku dan Mas Topan, plus bayi kami yang baru berusia tiga hari. Mencari pengasuh bayi pun tak mudah. Mamaku sudah kembali ke Yogya, sedangkan ibu mertuaku kembali ke Cilacap karena harus kembali bekerja.
”Rajin” Berhalusinasi
Malam pertama bayi kami pulang ke rumah, kami bingung, ini bayi mau diapakan? Kami belum pernah pegang bayi sebelumnya. Waktu dia menangis, aku dan Mas Topan ikut heboh. Waktu dia pipis, kami malah saling tunjuk, menyuruh mengurus ompolnya. Berkali-kali kami juga saling menyuruh untuk belajar menggendong bayi, karena sama-sama tidak bisa. Selama lima malam pertama, kami melaluinya dengan suasana seperti itu. Aku bener-bener stres, tidak tahu harus kuapakan bayiku. Pada hari keenam, akhirnya kami mendapatkan pengasuh yang kemudian mengajari kami, terutama saya, bagaimana mengurus bayi. Sampai sekarang, pengasuh ini masih bekerja pada kami. Ia sangat sabar mengasuh Jiwo sejak awal.
Pengasuh anakku ini usianya sudah lanjut. Jadi, malah kami yang dimarah-marahi olehnya. “Ya ampun, anaknya nangis kok, ibunya ikut nangis,” begitu ucapnya melihat aku dan bayiku sama-sama menangis. Habis, aku tidak tahu harus bagaimana. Makin lama, kondisi psikologiku bukannya makin normal, melainkan malah makin parah.
Ini terjadi setelah pada Oktober 2012 muncul isu bahwa kiamat akan terjadi pada 12 Desember 2012 (121212). Aku lalu mencari informasinya lewat dunia maya, termasuk ke berbagai blog. Karena lagi terbawa perasaan, aku langsung berpikir yang tidak-tidak. Kalau dunia kiamat, rumah akan runtuh, aku akan merasakan sakit seperti yang kualami ketika melahirkan. Lalu anakku bagaimana, pikirku dengan kalut. Pasti dia akan jatuh tertimpa bangunan rumah, berdarah-darah, suamiku akan hilang, dan seterusnya.
Aku juga membayangkan perang. Waktu itu sedang ramai-ramainya pemberitaan tentang ISIS dan isu perang. Aku jadi stres memikirkan kalau kiamatnya hanya ada di Purwokerto karena ISIS datang. Belum lagi, saat itu musim hujan dan Jakarta sedang banjir. Aku langsung memikirkan bagaimana jadinya kalau banjir dan kiamat terjadi di Purwokerto.
Lantaran terus memikirkan hal-hal yang sebetulnya tidak penting ini, hatiku terus-menerus deg-degan dan perasaanku tak pernah nyaman. Mulanya, kupikir ketakutanku yang absurd ini akan hilang dalam 1-2 hari. Jadi, kudiamkan saja. Namun, ternyata semua perasaan itu tak mau pergi dariku. Kondisi seperti ini terus berlanjut, bahkan makin parah.
Aku jadi sering berhalusinasi tentang hal yang tidak-tidak. Padahal, isu 12-12-12 itu terbukti tidak terjadi, karena Januari 2013 telah datang. Namun, aku terlanjur terpancing untuk memikirkan yang tidak-tidak. Karena takut akan kiamat, perang, dan banjir, sekitar Januari-Februari, halusinasiku makin aneh. Saat itu, ketakutan membuatku tidur di kolong tempat tidur karena merasa itulah tempat yang paling aman bagiku.