Muhammad Kusrin (2): Usai Disidang, Bertemu Presiden Jokowi

By Edwin, Sabtu, 30 Juli 2016 | 05:01 WIB
Muhammad Kusrin (Edwin)

Tak mau menyerah, Kusrin berjuang mendapatkan surat Standar Nasional Indonesia untuk televisi rakitannya. “Karena kalau tidak, bagaimana dengan nasib karyawan saya? Jangan sampai mereka putus kerja,” katanya. Perjuangannya berbuah manis, Kusrin pun dipanggil menghadap Menteri dan Presiden RI.

Untuk membantu proses produksi, jumlah karyawan harus ditambah. Urusan uang dan sales masih saya pegang sendiri. Soalnya, sales dan supir saya dari dulu brengsek semua. Mereka “bermain” sehingga uang keuntungan menguap. Sekarang enggak, semua saya yang atur sendiri terutama soal pembayaran. Sekarang, supir hanya untuk mengantar barang, urusan pembayaran tetap melalui saya.

Masuk tahun 2011, merk televisi saya sudah bernama Maxreen. Idenya justru dari seorang teman saya. Katanya, nama saya Muhammad Kusrin, kalau disingkat jadinya Maxreen. Ketika itu, produksi saya menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam sebulan, saya bisa produksi 5 ribu unit televisi. 8 orang karyawan bisa merakit sampai 200 unit per hari.

Semakin tingi pohon, semakin kuat angin yang menerpa. Begitu pun dengan usaha saya. Yang namanya masalah sudah muncul sejak awal saya buka usaha. Jadi, bisa dibilang bukan kemarin saja masalah yang saya hadapi. Macam-macam masalah yang pernah saya hadapi, bahkan pernah ditodong di tengah jalan!

Maxreen hadir tak hanya di Pulau Jawa tapi juga Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Omzet rata-rata Rp1,5-an miliar per bulan, tapi modal harus tersedia 3 kali lipatnya. Artinya saya harus ada uang Rp5 miliar. Saya harus siapkan dana untuk 3 bulan produksi karena kan, ada penjual yang membayar pakai tempo sebulan atau dua bulan. Sementara kita harus terus produksi dan stok bahan. Laku enggak laku, ya tetap produksi.  Sampai tahun 2015, saya digerebek polisi.

Enam Truk Barang Bukti

Bukannya saya enggak punya izin, tetapi proses membuat izin itu yang rumit dan masih dalam proses. Cara membuat izin saya cari tahu sendiri, enggak ada yang kasih tahu dan mengarahkan saya. Sampai tiba-tiba dianggap salah karena tidak berizin.

Ketika diperiksa polisi, saya kemudian diarahkan ke Desperindag Solo, tapi ternyata enggak bisa. Saya kemudian disuruh mengurus SNI ke tingkat Provinsi. Memang sih bisa tetapi biayanya mahal. Katanya, kalau komponen dari Cina harus buat SNI di Cina dulu, biaya kurang lebih Rp60 juta, belum ditambah biaya lainnya.

Saya benar-benar enggak habis pikir. Bagaimana seandainya pabrik berhenti produksi? Karyawan saat itu sudah 40 orang, mau dikemanakan kalau pabrik berhenti produksi? Saya kemudian usaha bikin SNI mati-matian.

Ketika digerebek, saya pasrah saja. Saya baru tahu ternyata sudah delapan bulan saya diintai. Saya diperiksa, semua barang produksi di rumah saya disita. Ingat sekali saya, 12 Maret 2015, saya dibawa ke kantor Polda Jawa Tengah, Semarang. Truk berisi televisi yang siap kirim pun ikut disita.

Saya meminta penangguhan penahanan, tapi kasus berjalan terus. Saya pikir kalau usaha ini dihentikan, yang ada dalam pikiran saya hanya karyawan saya akan gimana? Enggak mudah mencari pekerjan. Oke kalau saya dianggap salah dan melanggar, tapi tolong ada bantuan buat saya juga dong. Bagaimana caranya saya bisa terus menjalankan usaha ini dan karyawan saya dapat pemasukan.

Polisi kemudian coba mencari tahu bagaimana bisa membantu saya mendapatkan SNI. Dan akhirnya dapat di Surabaya, satu sample televisi saya dibawa polisi ke Surabaya. Ternyata bisa mengurus SNI di sana. Kata polisi, SNI bisa didapat dan minta saya mendindaklanjutinya sendiri. Terutama urusan pembayaran agar tidak lewat polisi, supaya polisi tidak dianggap makelar.