Meski dulu pernah mengalami masa susah, Ayah adalah sosok yang tekun dan banyak berjuang. Beliau juga seorang guru dan pernah memproklamirkan kemerdekaan di Sumatera. Ayah selalu berjuang, mendidik kami dengan disiplin, dan membantu dalam pelajaran.
Jadi, beliau tak pernah memanggil guru les seperti zaman sekarang. Lucunya, karena kasihan melihat anak-anak, PR sekolah pernah dikerjakan Ayah. Lalu, paginya dijelaskan bagaimana cara penyelesaiannya. Nah, ketika sampai di sekolah, teman-teman bertanya, "Eh, Papa kamu sudah bikin PR, ya?" Dan mereka pun mencontek PR saya. Ha ha ha. Tapi, itu sesekali saja, lho.
Ayah memang sangat berpengaruh banyak dalam pendidikan kami. Jika kami ujian, selalu ditunggui, lalu pulang ujian pun dijemput beliau. Begitu ujian selesai, bersama teman-teman, saya diajak makan gado-gado Purbawisesa oleh Ayah. Untuk ukuran zaman dulu, makanan itu sudah top sekali.
Gemuk & Doyan MakanSaya anak ke-4 dari 6 bersaudara, dan hanya ada dua anak perempuan. Nah, kepada anak perempuannya, Ayah sangat sayang, terutama saya. Jika semua kakak dan adik tak berhasil minta sesuatu, sayalah yang turun tangan menghadap Ayah. Soalnya saya termasuk anak yang tak pernah minta sesuatu. Misalnya, kami mau pergi beramai-ramai ke suatu tempat tapi tak diberi izin. Lalu saya minta ke Ayah, eh, langsung diberi izin.
Sementara sosok Ibu adalah orang yang aktif berorganisasi. Hal itulah yang menurun ke saya, senang berorganisasi. Rumah kami sudah terbiasa menjadi tempat orang-orang mengadakan rapat.
Ibu adalah Ketua Umum Istri Pajurit Angkatan Darat (Persit). Dulu, istri panglima belum tentu jadi Ketua Persit karena masih dipilih dari seluruh Indonesia. Nah, Ibu terpilih dua kali. Jadi, saya selalu melihat suasana kegiatan ibu-ibu di rumah.
Ibu sangat aktif berorganisasi, memperjuangkan hak-hak wanita. Atau kegiatan seni seperti latihan paduan suara dan tari-tarian. Ada peristiwa lucu yang tak pernah saya lupakan. Bila sedang ada rapat di rumah, saya ikut duduk di ruang tamu. Bukan untuk mendengarkan ibu-ibu rapat, melainkan menunggu kue yang dihidangkan di meja. (Bersambung)
Noverita K. Waldan