Meike Rose: Pertama Meramal Hanya Dibayar Rp 10 Ribu (2)

By nova.id, Kamis, 11 Februari 2010 | 17:56 WIB
Meike Rose Pertama Meramal Hanya Dibayar Rp 10 Ribu 2 (nova.id)

Meike Rose Pertama Meramal Hanya Dibayar Rp 10 Ribu 2 (nova.id)
Meike Rose Pertama Meramal Hanya Dibayar Rp 10 Ribu 2 (nova.id)

"Bersama anakku yang kedua, kayaknya dia juga mewarisi kelebihanku. (Foto: Ahmad Fadilah/NOVA) "

Jangan salah, anak pertamaku sampai sekarang sering diintimidasi orang-orang. Kalau mereka enggak suka denganku, jangan menyalahkan keluargaku. Komentar ke anakku macam-macam, ada yang bilang ibunya iblis, kafir, masuk neraka, sampai tukang sihir.

Bayangkan saja anakku yang masih berusia 9 tahun, menerima omongan seperti itu, kayaknya keterlaluan sekali ya mereka. Tentu saja aku stres mendengarnya. Sampai-sampai anakku pernah bertanya," Apa Ibu mau seterusnya jadi peramal, berat, kan, tugasnya." Lalu, dia mengajakku berdiskusi. Aku bilang," Kamu tahu Ibu menolong orang bukan mengajak orang percaya denganku. Ini hanya media saja."

Jujur saja, aku pernah punya keinginan tidak ingin jadi peramal lagi, mending nyanyi saja, deh. Tapi aku, kan, dapat kebaikan dari meramal, begitu juga orang-orang dapat kebaikan dari pekerjaanku. Lalu, kenapa aku harus mundur hanya karena omongan orang? Hidup itu kan ada plus minusnya, enggak ada yang lurus dan mulus. Yang penting hati-hati dan waspada, jangan berlebihan atau sombong. Aku hanya menyampaikan apa yang sebenarnya sudah disuruh Tuhan. Ini hanya profesi menjalani hidup. Justru aku lebih senang disebut sebagai motivator atau konsultan spiritual.

Anehnya, malah sekarang aku disebut peramal cinta karena diminta Indosiar mengisi sebuah acara mencari jodoh. Begitu juga acara di O Channel, aku membacakan bagaimana jodoh seseorang. Orang melihat pasti mendapatkan kesan kalau aku sempurna banget, padahal terkadang aku sampai menangis ke Tuhan, kok. Aku merasa tugasku sangat berat. Orang menuntut aku sempurna bicara soal cinta, padahal aku manusia biasa yang hanya bisa mendamaikan pasangan.

Aku bersyukur karena Tuhan memberikan rezeki enggak pernah salah, rezeki dan cobaan sudah diatur-Nya. Kalau sejauh ini orang sampai memberiku gelar peramal cinta, aku juga enggak tahu. Mungkin karena klienku kebanyakan menanyakan soal cinta. Enggak apa-apa, yang penting harus ikhlas dan menerimanya dengan lebih dewasa. Karena pengalaman hidup enggak ada yang mengajarkan.

Kembali Bertemu JodohSoal suami, akhirnya aku memutuskan untuk menikah lagi tahun 2006. Suamiku, Yahya, sangat mengerti dan menerima "keanehanku". Bahkan kini dia yang menjadi manajerku. Meskipun aku tidak bisa memaksakan dia mengerti kelebihanku. Walau ada perbedaan, yang penting kami bisa bertoleransi, memahami dalam konteks yang berbeda jalurnya. Kami pun sudah punya putri, Izabelle Yahya namanya. Kayaknya kalau aku lihat, dia juga punya kelebihan sepertiku.

Sebelum bertemu dengan suami, aku sudah tahu bakal ketemu dia. Ketika dulu aku salat Istikarah, aku bilang ke Tuhan enggak mau pergi ke Jakarta. Tapi tiap kali salat, jawabannya tetap harus pindah ke Jakarta. Akhirnya aku dikasih mimpi, saat di hotel, kok, semua orang kenal aku. Di belakang mereka berdiri seorang laki-laki. Tapi aku enggak kenal orangnya. Nah, ketika pertama kali aku ketemu dengan suami, ternyata wajahnya persis dengan yang di mimpiku itu.

Aku senang suamiku dan orang-orang terdekatku juga mengerti aku. Mereka selalu berpikir positif bahwa manusia itu bisa menjadi perantara Tuhan. Itu membuatku bangkit kembali. Profesiku, kan, butuh pengertian yang luar biasa. Yahya juga yang menguatkan aku untuk menetap di Jakarta. Meski usianya lebih muda dariku, tapi dia dewasa. Tidak ada yang kebetulan, selama memberikan energi positif, terserah umurnya berapa, yang penting saling menolong, membantu, menerima kekurangan apa adanya, semuanya akan bisa berjalan baik.

Kini aku hidup bahagia dengan suami dan putriku. Anakku yang laki-laki tidak mau pindah ke Jakarta. Aku bersyukur sekali punya suami yang luar biasa pengertiannya. Kalau malam-malam ada yang butuh pertolonganku, dia malah mengantarkanku ke tempat klien. Bagiku hidup itu dinikmati saja meski tidak ada yang abadi. Konflik pasti ada tapi harus bisa dinetralisir. TAMAT.

Noverita K. Waldan