Supaya anak berani dan tidak trauma terhadap jarum suntik, orangtua harus melakukan pendekatan dari 2 sisi, medis dan psikologis.
Kalau dihitung-hitung ternyata seorang bayi Indonesia rata-rata menerima sekitar 20 suntikan sampai ia berusia 2 tahunan. Biasanya anak-anak yang menderita alergi, asma, diabetes atau penyakit serius lainnya memiliki pengalaman yang lebih tidak mengenakkan menghadapi tenaga paramedis dan jarum suntik. Bisa dimaklumi karena mereka pasti akan lebih sering menerima suntikan. Tidak mengherankan jika suntikan dan jarum suntik merupakan 2 hal yang paling ditakuti anak-anak bila mereka diharuskan berada dalam klinik, RS atau sejenisnya.
Kendati begitu orangtua harus menyadari sepenuhnya bahwa tindak pengobatan lewat suntikan tentu bukan bertujuan untuk menyakiti atau membuat anak takut. Angka 20 untuk jumlah suntikan yang disebut di atas justru dilakukan untuk membangun kekebalan tubuh anak terhadap penyakit tertentu dalam bentuk imunisasi. Ingat, imunisasi adalah proses pembentukan kekebalan tubuh dengan memasukkan produk biologis tertentu (tergantung jenis penyakit yang dicegah) ke dalam tubuh.
Imunisasi rutin pada anak terbukti secara signifikan menurunkan kejadian penyakit infeksi di berbagai negara pada akhir abad ke-20. Atau menyelamatkan lebih dari 3 juta jiwa anak setiap tahun atau sekitar 10 ribu jiwa per hari. Imunisasi pun telah terbukti memberi perlindungan pada jutaan anak terhadap berbagai penyakit dan kecacatan menetap. Perlu juga diketahui, pencegahan penyakit infeksi pada anak dengan imunisasi merupakan salah satu keberhasilan terbesar dalam sejarah kedokteran.
KONDISI IDEAL
Idealnya, vaksin haruslah mudah pemberiannya, tidak disuntikkan (karena menyakitkan), aman, memiliki daya lindung yang tinggi, tanpa efek samping, dan pemberiannya bisa sekali untuk seluruh penyakit. Sayangnya, vaksin seperti ini baru dalam tahap cita-cita.
Di mata pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin/FK UNPAD, dr. Kusnandi Rusmil, SpA, pemberian vaksin kombinasi merupakan strategi utama untuk menurunkan jumlah pemberian vaksin. Efeknya, jumlah suntikan pada anak akan berkurang.
Menurut Kusnandi yang juga menjabat sebagai anggota Satgas Imunisasi PP IDAI dan Wakil Ketua Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Jawa Barat ini, kini sudah ada jenis vaksin kombinasi yang mengandung 7 jenis vaksin. Sementara di Indonesia baru ada 1 vaksin yang mengandung 5 jenis vaksin. "Dengan vaksin ini yang tadinya anak perlu 9 kali suntikan, sekarang cuma butuh 3 kali suntikan." Dengan demikian anak tidak lagi harus menerima 20 kali suntikan.
Di Indonesia, pemberian vaksin diutamakan bagi anak hingga usia 2 tahun. Yakni vaksin terhadap penyakit yang sering menyebabkan kecacatan dan kematian pada anak di bawah usia 2 tahun. Di antaranya BCG untuk penyakit TBC; Polio untuk penyakit polio; DPT untuk penyakit dipteri, pertusis dan tetanus; Hepatitis B untuk penyakit hepatitis B; Campak untuk penyakit campak; HiB untuk mencegah penyakit yang disebabkan Haemophilus influenza (yang umumnya menyerang otak dan saluran pernapasan anak yang berusia kurang dari 6 tahun, tapi terbanyak pada anak usia di bawah 1 tahun); MMR untuk parotitis/gondongan dan rubela; serta Pneumokokus untuk Invasive Pneumococcal Diseases (IPD) yang menyerang saluran pernapasan dan otak.
Hampir semua vaksin tersebut diberikan dengan cara suntik. Mengapa? Pertimbangan awalnya, vaksin cepat masuk dalam sirkulasi darah dan jaringan limfa. Di sinilah diharapkan muncul reaksi dengan sel darah putih jenis limfosit untuk menimbulkan zat antibodi. Meski ada beberapa jenis imunisasi yang tidak disuntikkan, yakni imunisasi polio dan tifus. Untuk bayi biasanya dalam bentuk cairan, sedangkan untuk anak yang lebih besar dalam bentuk kapsul. Sayangnya, jelas Kusnandi, ada banyak kendala bila diberikan melalui mulut. Salah satunya vaksin akan dihancurkan oleh enzim pencernaan di perut, disamping kekebalan yang terbentuk pun tidak optimal.
Di lain pihak, suntik menimbulkan dampak merugikan, yakni rasa nyeri atau bengkak di tempat suntikan, dan naiknya suhu tubuh. Hal ini terjadi karena jarum suntiknya sendiri maupun sebagai reaksi tubuh terhadap zat-zat yang terkandung dalam vaksin. "Tapi jangan khawatir. Semua vaksin yang beredar telah dilakukan uji klinis yang ketat. Sehingga reaksi imunisasi jauh lebih ringan dibandingkan bila kena penyakit itu sendiri," ujar Kusnandi.
Kendati tidak bisa dipungkiri, beberapa suntikan tertentu, terutama imunisasi, menyebabkan terjadinya efek samping yang sifatnya ringan dan temporer. Apabila khawatir anak mengalami reaksi serius terhadap suntikan imunisasi tertentu, hubungi dokter secepatnya atau cari bantuan darurat. Itulah mengapa wajar sekali anak takut disuntik meski sesungguhnya hal tersebut dapat dihindari dengan mempergunakan jarum tertentu untuk meminimalkan rasa sakit.
BERSIKAP REALISTIS
Mendapatkan jarum khusus, mungkin agak sulit. Kecuali di kota-kota besar dan di RS ternama. Akan tetapi bukan berarti orangtua lantas pasrah begitu saja menyaksikan anak kesakitan dan akhirnya trauma. Menurut Erfianne Cicilia, Psi., orangtua masih bisa melakukan upaya agar anaknya tetap mau disuntik tanpa disertai pemaksaan berlebih sehingga tidak menimbulkan efek traumatis.
Sederhananya, kata psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), ketakutan pada jarum suntik lebih dilatarbelakangi pada pengetahuan yang bersangkutan tentang jarum suntik yang selalu diasosiasikan sebagai benda tajam yang menyakitkan. Padahal yang bersangkutan bisa lebih tenang kalau mau lebih realistis bahwa jarum suntik itu relatif kecil sehingga tidak mungkin sampai melukai. Dengan kata lain, kesakitan karena jarum suntik tersebut lebih pada sakit secara psikologis.
Pada anak tentu saja orangtua belum bisa menyampaikan penjelasan logis ini. Kecuali pada anak yang duduk di bangku SD kelas 4 ke atas. Berikut sejumlah kiat dari Fifi guna memperkecil ketakutan dan trauma anak terhadap jarum suntik:
* Bayi
Menyuntik biasanya jauh lebih mudah karena si kecil masih dalam kendali orangtua. Artinya, bayi dapat digendong dengan posisi yang nyaman untuk disuntik. Secara psikologis orangtua dapat memeluk dan mendekap bayi dengan tenang agar bayi juga merasa relaks.
* Batita
Pada batita yang perkembangan bahasa dan komunikasinya belum lancar, memang jauh lebih sulit memberi pengertian tentang suntikan. Yang dapat dilakukan orangtua adalah memberi ketenangan menjelang disuntik agar saat disuntik si batita tidak terlalu tegang. Sambil alat dan obat suntik disiapkan, orangtua bisa mengajak anaknya ngobrol tentang hal-hal yang membuatnya merasa senang dan nyaman. Sambil terus memegang tangannya agar ia merasa terlindungi.
* Prasekolah
Anak usia ini adalah anak yang tahap perkembangan kognitifnya jauh lebih baik. Artinya, ia mulai menyadari dan memahami apa arti ke dokter dan mengapa ia harus disuntik. Anak telah menguasai komunikasi cukup baik. Jadi, ada baiknya beri tahu kalau ia akan diajak ke dokter dan kemungkinkan disuntik. Ungkapkan bahwa ibu/ayah mengerti kalau suntikan memang agak sakit. Namun katakan itu perlu dilakukan supaya ia cepat sehat, bisa bermain dan jalan-jalan lagi, sambil dipeluk dan tenangkan.
Usai disuntik, berikan pujian bahwa ia adalah anak pemberani. Gali lebih jauh dengan menanyakan apa yang dirasakan dan bagaimana pengalamannya saat itu. Jika pengalaman tersebut memang kurang menyenangkan, sampaikan pengalaman serupa dari ibu/ayah atau anak lain.
* Usia sekolah
Anak usia sekolah pastilah anak yang memiliki pengetahuan dan wawasan jauh lebih luas dibanding batita dan prasekolah. Oleh sebab itu, tentu tidak terlalu sulit untuk menjelaskan tentang alasan kenapa ia harus disuntik. Sebaiknya jelaskan secara logis kepada anak agar ia memahami betul betapa pentingnya ia disuntik. Setelah disuntik, tetaplah memberikan pujian pada anak agar ia merasa kerja sama dan keberaniannya dihargai oleh orangtua.
EFEK SUNTIKAN
Walau dari sisi medis suntikan banyak efek positifnya, tapi dari sisi psikogis suntikan mempunyai efek negatif. Menurut Fifi, efek psikologis disuntik bisa terlihat jelas pada anak yang agak besar. Tepatnya di usia 3 tahunan sampai usia sekolah karena di usia tersebut anak mulai mengekspresikan ketakutannya secara verbal dan perilaku. Sedangkan pada bayi, ekspresi ini biasanya tidak terlalu terlihat nyata karena kita belum berkomunikasi secera efektif dengannya.
Seperti telah disebut di atas, efek psikologis dari pengalaman disuntik merupa-kan ketakutan berlebih. Ketakutan berlebih ini biasanya diakibatkan oleh pengalaman pertama berhadapan dengan suntik yang tidak menyenangkan. Sangat mungkin saat pertama kali harus disuntik, mental anak belum disiapkan atau ia sama sekali belum mendapatkan penjelasan bahwa ia akan disuntik. Ketika itu bisa saja anak sebetulnya marah berlebihan pada orangtua yang dianggap "tidak melindungi" dia dari kesakitan disuntik. Bisa juga akibat perlakuan tenaga paramedis yang hanya mengejar "target" harus cepat selesai menjalankan tugasnya menangani pasien namun jadi dirasa kurang bersahabat. Buntut-buntutnya anak jadi merasa sangat terpaksa dan beban ini kemudian membuat rasa sakitnya jadi lebih terasa.
Pengalaman pertama yang sangat tidak mengenakkan tadi tentu akan membuat anak mengambil kesimpulan bahwa suntik identik dengan sakit. Generalisasi semacam inilah yang ujung-ujungnya membuat anak terus-menerus merasa takut pada jarum suntik. Bisa juga semata-mata karena pandangan bahwa jarum suntik adalah benda tajam yang menakutkan. Jadi, dalam hal ini bukan sakit suntikannya tapi karena takut pada jarum suntik.
MAU TIDAK MAU HARUS DIHADAPI
Fifi maklum bila ada saja orangtua yang berusaha menghindarkan anaknya dari suntikan. Mereka pasti memiliki alasan tertentu. Bisa jadi takut anaknya menangis sedemikian rupa sampai tak terkendali, khawatir buah hatinya mengalami trauma dan sebagainya. Kekhawatiran semacam ini wajar saja, namun orangtua pun perlu menyadari diri sampai kapan ia mampu mengendalikan anaknya untuk tidak disuntik. Suatu saat suntikan pasti sangat dibutuhkan pada kondisi kesehatan tertentu. Mau tidak mau orangtua dituntut untuk mengalahkan segala kekhawatirannya sekaligus tetap harus mempersiapkan anaknya melewati momen ini.
Gazali Solahuddin.