Alfito Deannova: Si Pendiam Yang Jago Debat (1)

By nova.id, Jumat, 29 Januari 2010 | 06:11 WIB
Alfito Deannova Si Pendiam Yang Jago Debat 1 (nova.id)

Alfito Deannova Si Pendiam Yang Jago Debat 1 (nova.id)
Alfito Deannova Si Pendiam Yang Jago Debat 1 (nova.id)
Alfito Deannova Si Pendiam Yang Jago Debat 1 (nova.id)

"Bersama rekan-rekan tvOne di acara Janji Wakil Rakyat. (Foto: Daniel Supriyono/NOVA) "

Setelah Radio SK resmi ditutup tahun 1996, aku pun ikut berhenti. Akhirnya aku lulus kuliah dan diterima bekerja di salah satu kantor akuntan besar. Betul saja, begitu aku jalani, kayaknya ini bukan duniaku. Memang, sih, apa yang dipelajari di kampus diaplikasikan, tapi, kok, yang aku lihat sekelilingnya tembok. Masing-masing konsentrasi bekerja, menghitung kertas kerja yang didorong pakai troli.

Berangkat pagi pulang malam, lalu aku dapat apa ya? Okelah dapat gaji tapi apakah membuatku bahagia. Akhirnya aku memutuskan enggak meneruskan kerja, cukup dua hari saja. Bahkan aku tidak lapor dan izin, aku tinggalkan begitu saja. Aku sadar keputusan tadi membuatku susah mencari kerja di kantor akuntan lain karena tidak ada komitmen. Ya sudahlah, aku juga tidak tertarik meneruskan bidang ini.

Karena ada latar belakang pernah kerja di radio, aku melamar ke teve. Metro TV dan SCTV yang memanggil. Berhubung SCTV yang duluan menawarkan, aku bekerja di sana. Karena kecintaanku pada keluarga sangat besar, terutama adik-adikku, aku merasa terpanggil membantu mereka. Terkadang hal itu jadi membebani hidupku. Aku jadi terlalu banyak mikir.

Apalagi ketika adikku diterima di Universitas Negeri Jakarta, berarti aku harus kerja dimana saja. Aku enggak mau nasibnya sepertiku lagi. Gaji itu aku bagi-bagi untuk bayar kos Rp 150 ribu berdua dengan adik, nabung uang kuliah adik Rp 300 ribu, dan uang saku. Aku enggak mengharapkan Papa dan Mama yang waktu itu tinggal di Medan. Karena mereka sudah memikirkan kakakku yang kuliah di Universitas Sumatera Utara. Biarlah di Jakarta aku memikirkan adikku. Untungnya aku masih bisa menabung.

Aku bilang ke adik, uang saku yang aku berikan enggak cukup. Pokoknya, pintar-pintarnya dia mengelola. Belakangan aku baru tahu dari dia, uang saku itu dibagi buat ongkos naik kereta dari Depok ke UNJ dan makan. Biar bisa bertahan, dia membeli nasi yang banyak, lauknya ikan. Lalu, nasi dan ikan dibagi dua. Satu bagian buat makan siang, sisanya buat makan malam. Kalau sekarang kami bertemu dan ngobrol, kami hanya bisa tertawa mengingat peristiwa itu.

Adikku yang bungsu pun menyusul kuliah di Jakarta, diterima di Sastra UNJ. Lalu, aku bilang ke ibu kos tempatku karena kos khusus laki-laki. Aku terus terang belum mampu beli rumah, kalau boleh kos di sebelah kamarku agar bisa dikontrol. Ternyata diizinkan, akhirnya kami kos bertiga. Syukur, sekarang semua adik-adik sudah bekerja.

Karier NaikSaat masuk kerja di SCTV tahun 2000, aku langsung ditempatkan di desk kriminal. Bagi wartawan, tempat ini paling bagus karena berpikirnya jadi kronologis dan lengkap. Lalu, pindah ke budaya, lalu politik. Tapi aku enggak pernah di ekonomi. Untunglah, karena aku kurang tertarik.

Aku senang karena sudah bekerja di kantor, kemana-mana ada yang nganterin pakai mobil, pokoknya enggak ada masalah. Kalaupun ada dukanya, karena hidup jadi tidak normal, Sabtu Minggu enggak libur, malah liburnya hari biasa. Kalau pekerjaan belum selesai, ya enggak bisa pulang. Tapi karena aku ikhlas menjalaninya, aku menjadi profesional yang dibentuk oleh kondisi.

Siaran pertama buat presenter pemula adalah Liputan 6 Pagi jam 05.30 WIB-06.30 WIB, jadi enggak boleh langsung siaran siang atau petang. Selama 4 tahun aku siaran pagi, berlanjut ke siaran siang. Setahun kemudian dapat siaran petang, itulah puncak karier di SCTV. Artinya, jika seseorang sudah dipercaya untuk membawakan siaran petang, berarti orang tersebut sudah teruji.