Istri atau Satpam?

By nova.id, Kamis, 23 Agustus 2012 | 00:20 WIB
Istri atau Satpam (nova.id)

Istri atau Satpam (nova.id)

"Foto: Getty Images "

"Pa, lagi di mana, nih? Sama siapa? Pulang jam berapa?"

Barangkali, pertanyaan istri semacam ini pernah dialami oleh banyak suami. Ada suami yang sudah terbiasa, namun ada pula yang "gerah" oleh rentetan pertanyaan istri yang bak "satpam" ini. Sejauh mana, sih, pertanyaan-pertanyaan istri seperti ini masih dianggap wajar?

Menurut Aurora Y.J. L. Toruan, MSi, Psi., psikolog Konsultan Psikologi Keara, Jakarta, komunikasi sewajarnya ada dalam sebuah rumah tangga. Namun, kalau komunikasi malah terlalu intensif, bisa-bisa suami merasakannya sebagai gangguan. Belum lagi jika pertanyaan itu disampaikan pada saat yang tidak tepat. Misalnya, saat suami tengah sibuk dengan urusan pekerjaan di kantor.

Sejauh mana seorang istri boleh menghubungi suaminya, lewat telepon misalnya, tentu tergantung kesibukan masing-masing. Sekali sehari rasanya cukup. Yang perlu diketahui, pada seorang istri, dan perempuan umumnya, memang terdapat dorongan nurture, yaitu dorongan untuk merawat dan memerhatikan anak. "Nah, kadang-kadang ini terbawa dalam hubungan suami-istri. Maksudnya, sih, memberi perhatian, tetapi kadang-kadang berlebihan," lanjutnya.

Mengontrol Pasangan 

Pertanyaan bernada "menyelidik" seperti ini tentu bisa mengganggu hubungan suami istri. Apalagi jika masing-masing pihak tidak begitu mengenal gaya komunikasi pasangannya.

Bisa saja, istri memang termasuk tipe orang yang hobi mengontrol. "Setiap orang berupaya memiliki keseimbangan antara kebutuhan untuk bergantung kepada orang lain dan kebutuhan untuk memiliki kendali pribadi, yaitu kebebasan mengejar keinginannya sendiri," jelas Aurora

Seseorang yang memiliki kebutuhan kontrol yang tinggi sangat membutuhkan situasi yang bisa diprediksikan, merasa aman, pasti, berkuasa, dan dapat mengendalikan situasi. "Sementara, hubungan atau keintiman memuat kemungkinan akan ketidakpastian, sulit diprediksi, dan kemungkinan akan kehilangan orang yang dicintai. Dalam keintiman, dituntut rela menyerahkan sebagian dari kendali atau kontrol kepada pasangan," jelas Aurora.

Oleh karena itu, orang yang memiliki kebutuhan akan kendali tinggi cenderung sulit untuk menjalin hubungan yang intim dengan orang lain. Ia juga sulit untuk menunjukkan sedikit ketergantungan atau kerentanan emosional yang mereka miliki kepada orang lain. Padahal ketergantungan ini sebenarnya penting dalam hubungan cinta.

Aspek lain dari kontrol adalah kendali hubungan. Yaitu sebuah kondisi di mana salah satu pasangan berusaha memanipulasi atau mengendalikan perilaku pasangannya. Ketika hal tersebut terjadi, maka pasangan yang merasa "terancam" akan menarik diri dari hubungan. Akibatnya, ia gagal berkomunikasi secara efektif. "Nah, untuk mengembalikan kepercayaan diri, pasangan harus berani menghadapi risiko secara bersama-sama untuk membahas isu yang menghalangi kedekatan ini," jelas Aurora.

Takut Kehilangan 

Penyebab lain bisa jadi karena cemburu. Cemburu terjadi ketika seseorang merasa cemas, tidak memiliki kepercayaan terhadap pasangan, dan curiga karena terlalu cinta atau takut kehilangan. "Perasaan kesepian, pengkhianatan, dan ketidakpastian sangat memengaruhi munculnya kecemburuan. Cemburu adalah pengingat bahwa hubungan yang sedang dijalani merupakan sesuatu yang penting," kata Aurora.

Cemburu masih wajar atau normal jika salah satu pihak melihat masalah yang memang nyata mengancam hubungan dan biasanya menimbulkan ketidaknyamanan. Cemburu yang normal dapat berdampak positif atau negatif. "Positifnya jika pasangan menganggap kecemburuan sebagai wujud perhatian atau kasih sayang, dan merasa makin tertarik kepada pasangan karena pasangannya juga menarik bagi orang lain," jelas Aurora.

Negatif apabila cemburu terjadi karena pasangan sering tergoda atau digoda oleh lawan jenis, misalnya. Dampaknya tak jauh beda dengan cemburu patologis. "Cemburu patologis adalah bayangan akan ancaman, kecurigaan yang paranoid, dan kekesalan emosional yang tinggi atau perilaku detektif yang disusun untuk mengecek pasangan yang dicurigai," lanjutnya. Cemburu yang seperti ini dapat memancing perdebatan yang sengit dan bahkan kekerasan atau ancaman perpecahan hubungan seperti putus atau cerai.

Rasa cemburu datang secara tidak disadari, "Yaitu ketika merasa ada perilaku pasangan yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap kelanggengan hubungan. Begitu muncul, cemburu mendorong kita untuk berupaya memperoleh kejelasan akan apa yang sebenarnya terjadi dan memprediksi dampak dari perilaku pasangan terhadap hubungan yang dijalani," tambahnya.

Kenali Sebelum Menikah

Lantas apa yang harus dilakukan agar pertanyaan-pertanyaan istri ini tidak membuat hubungan suami-istri terganggu? Sebelum menikah, saran Aurora, pasangan suami istri sebaiknya sudah mengetahui gaya komunikasi masing-masing. Bahkan, seharusnya sudah dibina sejak mulai menjalin hubungan yang lebih serius sebelum menikah.

Contoh, jika sejak sebelum menikah, pembawaan istri memang sulit untuk percaya pada orang lain. Tak cuma pada pasangan, tapi juga kepada orang lain di sekitarnya. "Artinya, bisa jadi istri memang tipenya 'tukang selidik' dan suami sudah tahu itu," kata Aurora.

Soal komunikasi seharusnya juga dibuat kesepakatan. Kapan suami bisa dihubungi dan kapan ia boleh menghubungi, misalnya. Kalau bolak-balik dihubungi, tapi ternyata topiknya tidak darurat, sebaiknya harus dilihat lagi. Lain halnya bila urusannya penting, seperti anak sakit, yang memang perlu komunikasi yang lebih intensif.

Jika ada ganjalan, sebaiknya segera disampaikan. "Sambil ngobrol santai saja. Ini, kan, masalah privasi, masalah menjaga keseimbangan hidup. Suami-istri, kan, juga punya lingkungan, tak hanya di keluarga atau di rumah, tapi juga di kantor atau komunitas lain. Sampaikan saja, misalnya kalau tidak bisa angkat telepon, nanti akan telepon balik atau SMS," jelas Aurora. Kalau ini dibicarakan dalam situasi yang nyaman, maka keduanya pasti akan bisa berpikir lebih jernih dan diambil kesepakatan.

Contoh lainnya, jika ada pihak lain, lawan jenis utamanya, yang muncul dalam "kehidupan" suami. "Harus disepakati, komunikasi seperti apa yang harus dilakukan. Kalau cuma pergi keluar makan siang dengan teman sekantor, ya tidak masalah," kata Aurora. Atau disepakati, bila memungkinkan jangan pergi berdua.

Intinya, suami istri harus saling percaya. Istri sebaiknya menanamkan kepercayaan bahwa suami mampu menjaga komitmennya, begitupun sebaliknya. Kalau istri justru membebani suami dengan kecurigaan, suami bisa jadi tidak nyaman dan malah bisa memicu konflik.

Tentu saja, lanjut Aurora, istri tetap bisa mengecek atau bertanya, tapi tidak perlu berlebihan. Yang lebih perlu adalah menguatkan hubungan suami istri, menguatkan komunikasi dan kedekatan. "Ingat, hubungan suami istri akan membawa pengaruh terhadap kualitas hubungan itu sendiri. Jadi, kalau masing-masing pasangan merasa tidak ada masalah dan komunikasi berjalan baik, sebetulnya tidak perlu lagi curiga, kok."

 Hasto Prianggoro