Amy Zein, Pikat Pelanggan jadi Manekin Berjalan

By nova.id, Minggu, 5 April 2009 | 08:09 WIB
Amy Zein Pikat Pelanggan jadi Manekin Berjalan (nova.id)

Wanita kelahiran Jakarta 14 September ini melakoni tiga profesi sekaligus. Utamanya, bikin sepatu yang cantik dan tentu saja nyaman di kaki.Profesi Anda sungguh komplet. Pengusaha sepatu, penyiar radio, juga presenter.Ketiga profesi ini memang saya lakoni secara bersamaan. Saya sudah tiga tahun ini bisnis sepatu perempuan. Idenya, sih, dari pengalaman pribadi. Sepatu, kan, wajib bagi perempuan. Kebanyakan wanita maniak sepatu, tidak cukup hanya punya satu pasang sepatu. Namun, mau beli terus, kan, harganya mahal. Saya cari akal untuk bikin sepatu sendiri.Awalnya, berdasarkan desain yang saya buat, saya pesan pada perajin. Ternyata, sepatu yang saya pakai, digemari orang. "Eh, belinya di mana? Dari situ terpikir untuk usaha sepatu. Saya pun memenuhi pesanan teman-teman dan relasi. Karena permintaan pesanan makin banyak, suami saya, Anto Prasetyo, yang jago manajemen dan bisnis, berpikir untuk membuat sepatu sendiri dan membuat jalur distribusi. Langkah apa yang Anda dan suami lakukan?Kami sepakat untuk bikin workshop. Tapi, cari perajin enggak dapat-dapat. Kebetulan, pengusaha sepatu tempat saya biasa pesan, malah menawarkan perusahaannya. "Kalau mau, beli saja bisnis saya." Saya tidak tahu kenapa dia ingin menjualnya, mungkin ingin bisnis yang lain. Dia menjual usahanya, termasuk 4 para perajin. Untuk modal awal, butuh dana sekitar Rp 30 juta. Sepatu apa yang Anda buat? Saya fokus membuat sepatu untuk wanita. Setelah berkecimpung di dunia sepatu, saya tahu ternyata sepatu adalah selera yang individual. Ada yang suka simple, klasik, unik dan detail, ada yang suka colorful. Tentu saja saya juga perlu melihat tren. Misalnya saja beberapa waktu lalu, booming sepatu gladiator. Sebagian perajin bikin gladiator, suasana Romawi. Nah, sekarang lagi tren mode oxford. (Konon kabarnya pertama kali muncul di Skotlandia dan Irlandia).Sejak tahun lalu, untuk pengembangan, saya juga membuat sepatu anak dan pria. Ceritanya banyak pelanggan yang punya anak kecil. Mereka minta dibuatkan sepatu untuk anaknya. Rupanya mereka ingin datang ke suatu acara dengan berseragam, termasuk sepatu. "Sudah deh, bikin sepatu anak dan pria," pikir saya. Meski begitu, sepatu perempuan tetap yang paling banyak diproduksi. Anda menciptakan mode sendiri. Bagaimana caranya tes pasar?Sederhana saja, kok. Setelah bikin sepatu model baru, saya berperan seperti manekin berjalan. Biasanya, saya dan suami jalan-jalan ke mal. Sambil bergaya, saya jalan keliling mal, naik satu lantai ke lantai lain. Saya upayakan dandan agar orang langsung fokus ke sepatu. Lalu, saya menghitung berapa jumlah orang yang melirik saya. Kalau di atas 20, berarti banyak orang tertarik. Saya pun tak ragu memproduksi. Jangan-jangan mereka melirik paras Anda yang cantik?Ha ha ha. Yang melirik perempuan, kok. Artinya mereka memang tertarik.Di saat lain, saya naik bus trans Jakarta sendirian. Kalau orang lain memilih duduk, saya justru suka berdiri. Maksudnya, agar mereka melirik saya. Cara promosi lain, saya buka toko online dengan nama www.pesansepatu.com. Kebetulan suami saya melek teknologi. Kok terpikir menjual lewat online?Banyak yang minta katalog untuk mengetahui sepatu buatan saya. Bikin katalog, kan, mahal. Buat saya yang mulai bisnis terlalu berat. Saya mulai dari situs pertemanan. Saya masukin foto-foto sepatu. Saya juga ikut beberapa milis dan forum bagi kaum perempuan. Dari situ, saya memperkenalkan situs. Ternyata perkembangannya bagus. Saya dapat pelanggan Indonesia, termasuk Papua.Ada lagi cara promosi yang unik. Kalau saya pas jadi MC atau syuting suatu acara, saya selalu pakai sepatu sendiri. Saya memperkenalkannya pada teman-teman. Banyak yang suka. Berarti Anda harus jeli memantau model?Tentu saja. Saya mendapat referensi dari mana saja. Bisa majalah, orang lewat, bahkan dari mana saja, termasuk daun jatuh. Kebetulan rumah di daerah Ciputat masih banyak pohon. Ketika saya dan suami di halaman rumah, ada daun jatuh tepat di kaki. Lucu juga. Dari situ muncul ide membuat sandal bentuk daun. Bahan apa yang Anda gunakan untuk membuat sepatu?Kulit sintetis dan bahan-bahan lain. Kalau hanya pakai bahan sulit sintetis, semua pengusaha sepatu juga pasti pakai bahan itu. Agar tampil beda, saya juga pakai bahan lain. Terkadang bahan yang orang lain tidak kepikiran. Misalnya saja bahan baju. Sepanjang bahan itu bisa dipakai untuk sepatu (lemnya tidak tembus. Sepatu, kan, memang dilem.), saya akan gunakan.Saya hunting ke mana-mana untuk mendapatkan bahan yang bagus. Kalau ke luar kota, saya selalu hunting ke toko bahan. Saya sering obrak-abrik bahan-bahan yang sudah berdebu. Dari situ terkadang justru dapat bahan bagus yang orang lain tidak dilirik orang lain. Bagaimana prospek usaha Anda?Sejauh ini, sih, bagus. Saya sudah kirim ke berbagai kota di Indonesia, bahkan sampai Australia dan Singapura. Oh ya, sejak awal saya tidak bikin produk massal. Ada yang pesan satu pasang pun saya bikinkan. Prosesnya mirip orang bikin baju. Kakinya digambar di kertas, lalu diukur panjang, lingkar dan seterusnya. Ada proses fitting-nya juga. Jadi, benar-benar pas dan enak di kaki. Banyak, kok, yang datang ke tempat workshop. Mereka bisa melihat proses cara pembuatan.Selain itu, sepatu kreasi saya juga dipasarkan di 15 butik di Jakarta dan di Balikpapan, Bali, serta Makassar. Untuk tiap butik, maksimal ada enam pasang sepatu yang modelnya sama. Sebenarnya permintaan makin banyak tapi masih terbentur soal SDM. Bermula dari empat perajin, sekarang saya dibantu delapan perajin. Berapa banyak kapasitas produksinya?Rata-rata per bulan laku 400 pasang. Awal bulan, bisa dipastikan pesanan ramai. Dengan harga per pasang Rp 150 ribu - 800 ribu, pelanggan saya datang dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, ibu rumah tangga, presenter, sampai penyanyi. Beberapa butik dan desainer terkenal juga pesan sepatu ke tempat kami. Apa, sih, latar belakang Anda? Saya alumni Fakultas Psikogi Undip, Semarang. Jadi, di bidang sepatu, saya benar-benar memulai dari nol. Itu sebabnya, awal usaha saya trial-error. Terkadang stres. Kenapa orang yang nomor sepatunya sudah pas, saat memakai sepatu buatan saya, mengeluh tidak enak. Dulu, ada saja yang protes, mulai dari bicara baik-baik sampai komentar pedas. "Kamu bisa enggak, sih, bikin sepatu?" ujar mereka.Nah, untuk mengetahui teknik membuat sepatu, awalnya saya kursus membuat pola sepatu pada Pak Jefri di Jakarta. Dia lulusan Milan, Italia. Saya benar-benar belajar proses bikin sepatu dari awal. Dari situ, saya makin tertarik. Ternyata bisnis sepatu menjanjikan. Menurut saya, pasar sepatu tidak ada matinya. Bisa saja sekarang krisis ekonomi, tapi orang ke kantor tetap saja pakai sepatu. Selama manusia beraktivitas, sepatu masih dibutuhkan. Enak, ya bisnis sepatu? Wow, buat saya sangat menyenangkan. Saya selalu punya sepatu baru dan tidak sulit lagi datang ke berbagai acara. Saya sering dapat order jadi MC suatu acara yang mengharuskan pakai busana dengan dresscode tertentu. Namanya saja dresscode, kan, suka aneh-aneh. Misalnya saja perusahaan yang mengundang saya punya warna korporat ijo, saya harus pakai busana serba hijau. Kalau orang lain pusing cari sepatu di mal, saya tinggal gambar, cari stok bahan, begitu tiba harinya, saya sudah punya sepatu baru.Lebih enak lagi, saya bisnis bareng suami. Saya urusan promosi dan branding, suami bagian produksi. Tiap pagi, kami berbincang soal sepatu. Misalnya saja diskusi suatu mode yang akan dibuat. Ngobrol soal usaha tapi santai. Bisa sambil nonton teve atau di mana saja. Boleh cerita karier Anda?Saya sudah 10 tahun berkecimpung di radio. Saat kuliah di Undip, saya jadi penyiar di radio Prambors Semarang. Setelah lulus, saya kembali ke Jakarta, melanjutkan karier di radio. Lima tahun jadi penyiar di Hard Rock FM, sejak Februari lalu saya berhenti. Kayaknya saya sudah harus mencari tantangan baru lagi. Karena usia sudah dewasa, saya ingin masuk ke radio yang dewasa. Dari situ melangkah jadi presenter?Ya. Saya ditawari stasiun teve O Channel untuk memegang acara wanita, namanya Cinta. Misalnya saja topik apa saja yang disukai perempuan, bagaimana kaum ibu mengatur uang. Masih di O Channel, saya juga membawakan acara Belanja. Acara ini membedah suatu produk, misalnya saja peralatan rumah tangga, kamera, ponsel, dst. Acara ini mengundang narasumber dan saya yang mewawancarai.Sekarang ini, saya banyak dapat banyak tawaran jadi MC. Di sela-sela itu, saya masih bisa terlibat acara kesenian. Saya pernah main teater bersama EKI Production dalam pentas Freakin Crazy You. Saya juga pernah main film layar lebar, judulnya Medley. Beberapa waktu lalu sebenarnya saya dapat tawaran main sinetron komedi. Saya tidak sanggup karena syuting mulai pagi sampai malam.

Henry Ismono