Syumeiraty Rashando, Rumah Kedua yang Bikin Happy

By nova.id, Selasa, 26 Agustus 2008 | 04:58 WIB
Syumeiraty Rashando Rumah Kedua yang Bikin Happy (nova.id)

Ibu dua anak yang akrab disapa Bu Yoyong (32) ini berhasil membuka kursus keterampilan gratis, justru setelah usahanya terpuruk. Apa rahasianya?Menyelenggarakan kursus keterampilan gratis. Apa tidak rugi?Kursusnya memang gratis, tapi peserta membeli semua perlengkapan dan bahan di sini. Sengaja gratis karena ini merupakan ungkapan syukur saya, masih bisa buka usaha setelah bisnis saya bangkrut. Saya sudah dapat pertolongan dari orangtua yang menyediakan tempat gratis untuk usaha. Usaha saya yang mestinya sudah tidak ada pun bisa hidup lagi.Sebelumnya usaha apa yang digeluti?Tahun 1995 saya menekuni bisnis gift shop dan pernak-pernik perempuan. Contohnya boneka, tas, gantungan kunci, wadah HP. Untuk wilayah Bandung, mungkin saya salah satu pelopor. Bermula dari jualan di rumah orangtua, saya bisa menyewa toko di salah satu mal di Bandung yang kala itu baru ada dua. Beberapa tahun kemudian, usaha terus maju.Seiring bertambahnya mal di Bandung, gerai saya juga terus bertambah. Sampai puncaknya tahun 2000, saya punya lima gerai di tiap mal. Omzet usaha sangat besar, sampai ratusan juta per bulan. Karyawan saya 50 orang. Barang sebagian saya ambil dari Mangga Dua, Jakarta.Bertahan lama?Yang saya tidak sadari, usaha seperti ini begitu mudah ditiru. Apalagi jika saya tidak mengadakan pembaruan. Mal dan toko tambah banyak, tapi kompetitor juga. Banyak yang mengikuti usaha saya. Karena persaingan makin ketat, bisnis jadi makin sepi.Lama-lama, mulai rugi. Uang habis untuk biaya operasional. Saya enggak mampu lagi bertahan di mal. Untuk biaya perpanjangan kontrak saja sudah tidak sanggup. Satu demi satu gerai tutup, meski waktunya tidak bersamaan.Lalu, bangkrut?Betul. Suami saya, Handi Susilo Yurianto (34), mengatakan usaha sudah tidak sehat. Kalau terus bertahan, kerugian makin besar. Tentu saja saya sedih sekali, bahkan sampai stres.Orangtua lalu menyarankan, kalau saya masih ingin berbisnis, bisa menempati rumah beliau yang kosong di Jalan Aceh (Kebon Sirih), Bandung. Meski tempatnya kurang strategis, saya kan tidak perlu mengeluarkan biaya sewa.Mulai lagi dari nol, dong?Begitulah. Konsep usaha saya enggak bisa seperti dulu. Terpikir di benak saya untuk membuat tempat kursus. Kerajinan apa saja yang diinginkan masyarakat, saya upayakan ada, termasuk menyediakan buku-buku tentang keterampilan. Tiga tahun lalu, resmi berdiri Crayon's Craft & Co.Untuk menarik minat peserta, semua kursus tidak saya pungut biaya alias gratis. Bukankah orang senang dengan sesuatu yang gratisan? Peserta cukup membeli bahan lengkap dengan uang sekitar Rp 100 ribu. Setelah itu, bisa mengikuti kursus apa saja di sini. Kursus gratis yang mengandung misi sosial ini saya selenggarakan tiap hari. Saya berharap, konsep baru ini menarik minat pengunjung.Berhasil?Setahun buka, pengunjung masih sepi. Sehari, yang masuk paling 3-5 orang. Sedihlah pokoknya. Delapan orang pegawai saya juga banyak nganggur. Nah, ketika toko sepi itulah para karyawan saya ajari berbagai kursus keterampilan. Saya pikir, seandainya kelak toko ramai, saya tentu tak sanggup sendirian mengajar kursus. Jadi mesti ada asisten.Saya tanyai tiap karyawan, keterampilan yang mereka sukai. Yang suka payet, saya arahkan jadi guru keterampilan payet. Saya kasih dia buku dan berbagai bahan untuk dipelajari. Lalu praktik sampai mahir. Pokoknya tiap karyawan saya asah kemampuannya. Sekarang, masing-masing karyawan punya keahlian. Malah ada yang jadi spesialis.Keterampilan apa saja sih, yang diajarkan?Macam-macam. Ada sulam pita, brayen, hakken, aksesoris manik, clay, miniatur, paper tole, origami, melipat uang mahar, batik, boneka kawat, dan masih banyak lagi. Pokoknya, segala macam keterampilan saya upayakan ada. Makanya saya menyebutnya pusat perlengkapan kerajinan, prakarya, craft, & hobby.Sekarang, saya punya 10 pengajar kursus yang spesialis di bidangnya. Namun, saya sadar, dibanding negara lain seperti Jepang, keterampilan di sini masih belum lengkap.Bagaimana mengenalkan tempat ini pada khalayak?Saya nyebar brosur ke mana-mana. Selain itu, saya juga ikut bazar, bahkan ikut Pameran Inacraft di Jakarta. Waktu ikut pameran, saya menjual kreasi miniatur gerobak. Miniatur ini lahir usai saya melahirkan anak kedua. Sambil menunggu baby, saya bikin kerajinan clay. "Lucu juga kalau bikin mi baso," pikir saya. Lalu, saya masukkan dalam mangkuk mini. Agar lebih bagus, saya masukkan dalam gerobak.Dari sini saya terus berkreasi membuat berbagai miniatur gerobak, antara lain gerobak martabak, rujak, siomay, dan beragam lagi. Kreasi gerobak yang saya pamerkan ini ternyata menarik minat banyak pengunjung. Ratusan miniatur gerobak saya langsung ludes.Yang membahagiakan, Pak Presiden SBY datang ke stan saya dan membeli miniatur gerobak. Tahun berikutnya, ketika saya ikut Inacraft lagi, Pak SBY juga beli lagi. Wah, senangnya Pak SBY mengoleksi karya saya.Lantas?Sukses pameran di Jakarta, otomatis tempat kursus saya makin dikenal. Pelan-pelan pengunjung makin banyak. Sekarang, rata-rata peserta kursus 25-30 orang per hari. Sedang Sabtu, Minggu, dan hari libur, melonjak sampai 60 orang.(Kini, tempat kursus Yoyong tidak pernah sepi. Usahanya pelan tapi pasti makin berkembang. Tempatnya pun luas. Di bagian depan, Yoyong menjajakan berbagai produk keterampilan karyanya dengan maskot miniatur gerobak.Di bagian belakang gedung, tertata rapi beragam bahan kerajinan, juga buku-buku tentang keterampilan. Di lantai atas, para perserta kursus belajar di bawah bimbingan karyawan Yoyong. Menurut Yoyong, kursus dan miniatur gerobak ini sekarang menjadi andalan bisnisnya.)Selain gratis, apa lagi kelebihan kursus Anda?Saya tidak membatasi waktu belajar. Kursus lain, kan, biasanya hanya beberapa jam. Di sini bebas saja. Yang pasti sesuai jam buka yaitu Senin-Sabtu jam 09.00 - 18.00. Khusus Minggu, saya tutup.Selain itu, bila bahan kerajinan yang dibeli masih ada, peserta juga tidak perlu beli bahan lagi. Silakan datang kapan saja.Banyak peserta yang kerasan. Bahkan menganggap tempat kursus ini sebagai rumah kedua. Kalau enggak ada kerjaan, mereka datang ke sini. Pulang happy sambil bawa ilmu dan kerajinan karya sendiri. Saat puasa, juga lumayan ramai. Banyak yang ngabuburit sembari belajar.Siapa saja yang datang kemari?Kebanyakan memang kaum perempuan dari berbagai usia. Mulai dari anak-anak sampai nenek-nenek. Anak-anak banyak datang di musim liburan, biasanya bersama ibunya. Anak-anak lebih senang belajar membuat kerajinan dari clay. Clay bisa dibentuk jadi boneka, gerobak, dan masih banyak lagi. Nah, di hari biasa, tempat kursus didominasi ibu-ibu.Apa yang membahagiakan Anda sebagai pemilik kursus?Tentu saja bila peserta kursus bisa berkembang. Saya bahagia mendengar ada peserta kursus yang membuka bisnis sendiri dan berkembang pesat. Ia menjual tas, bahkan sampai ekspor ke Malaysia. Juga saat ada peserta kursus yang ganti membagi ilmu secara gratis kepada ibu-ibu petani di Garut.Omong-omong, mana yang lebih menguntungkan, kursus atau miniatur?Putaran uangnya lebih cepat kursus. Per bulan omzetnya Rp 100 juta. Dipotong untuk gaji karyawan plus modal barang, saya masih dapat Rp 15-20 juta. Memang jauh lebih kecil dibanding bisnis saya dulu. Namun, saya senang karena bisnis ini bisa saya sambi mengasuh anak-anak. Saya datang ke tempat kursus setelah antar-jemput sekolah anak-anak saya, Emily Florence (7) dan Frederick Anderson (5).Untuk miniatur gerobak, harganya memang relatif mahal. Paling murah Rp 500 ribu. Namun, tidak tiap hari laku. Orang banyak sekadar lihat-lihat. Yang menyenangkan bila ada wisatawan Jepang dan Belanda. Mereka suka sekali kerajinan ini.Oh ya, dari mana belajar soal keterampilan?Sejak SMP saya memang sudah suka prakarya. Kerajinan apa saja saya bikin sendiri. Saya paling hobi beli buku tentang keterampilan, lantas saya praktikkan sampai mahir. Saya terus mengikuti tren keterampilan dunia lewat majalah dan internet, terutama Jepang dan Belanda yang keren-keren. Banyak inspirasi saya dapat dari sana. Memang, kerajinan itu enggak ada ujungnya. Makanya saya tak akan pernah berhenti belajar.HENRY ISMONO