Dokter Mutia Prayanti Errufana, Sp.OG, Sempat Tak Digaji Empat Bulan

By nova.id, Jumat, 2 Mei 2008 | 03:23 WIB
Dokter Mutia Prayanti Errufana Sp (nova.id)

Aktif di beberapa organisasi dan menjadi Kepala Pusat Krisis Terpadu (PKT), waktunya banyak tersita untuk mengurusi wanita dan anak-anak. Meski begitu, wanita berjilbab ini tak meninggalkan kewajibannya dalam keluarga. Apa rahasianya?PKT itu apa, sih?PKT adalah tempat untuk menangani kasus-kasus yang menimpa wanita dan anak-anak. Seperti Kejahatan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau kejahatan seksual. Pelayanan yang kami berikan mulai dari pemeriksaan fisik sampai konseling.Kapan PKT didirikan?Tahun 1999 lalu Departemen Forensik RSCM ingin membuat bagian Forensik Klinik. Karena terbentur dana, rencana itu tak kunjung terealisasi.Di tahun yang sama, Komnas Perempuan membuat Kelompok Kerja untuk membuat Women Crisis Center. Beberapa orang dikumpulkan, termasuk saya, untuk mengikuti lokakarya dan studi banding ke Srilanka, Kuala Lumpur, dan Manila.Niatan Komnas Perempuan dan Departemen Forensik yang bersinergi itu akhirnya melahirkan PKT dan memilih bertempat di RSCM, Jakarta pada tahun 2000 lalu.Apakah klien harus membayar untuk mendapatkan pelayanan di PKT?Tidak. Pelayanan kesehatan dan terapi yang kami berikan ini semuanya gratis. Klien cukup membayar registrasi sebesar Rp 10 ribu.Berapa banyak korban KDRT dan kejahatan seksual yang datang ke PKT?Dalam sehari bisa dua orang yang datang ke PKT. Kalau dulu kebanyakan yang datang adalah korban kejahatan seksual. Sekarang yang banyak adalah korban KDRT.Selama aktif di PKT ada cerita yang tak terlupakan?Pernah dulu seorang klien kami datang ke PKT dengan luka parah di bagian mata setelah ditusuk gunting oleh suaminya. Kami memberikan semua perawatan yang dibutuhkan hingga sembuh. Selain itu, kami juga harus menyediakan rumah aman atau shelter untuknya karena yang bersangkutan saat itu sedang hamil 5 bulan dan tidak mempunyai sanak saudara di Jakarta. Klien itu terus berada di rumah aman sampai melahirkan.Tak sampai di situ, akibat tindakan suaminya, klien kami enggan merawat anaknya, sehingga kami harus mencarikan orangtua asuh untuk anaknya.Dari mana PKT mendapat biaya untuk terus berjalan?Soal dana, sampai sekarang kami dibantu Departemen Pemberdayaan Perempuan. Untuk pengeluaran pengobatan klien, kami remburs ke Departemen Kesehatan. Seharusnya, PKT ini masuk dalam APBD, karena yang dilayani adalah warga DKI.Pernah ketika peralihan bantuan dari LSM ke Departemen Pemberdayaan Perempuan, karyawan PKT tidak digaji selama 4 bulan, lho.Apakah tidak ada sumbangan secara pribadi?Ada, terlebih setelah kami membuka rekening PKT. Bantuan dana untuk PKT dapat ditransfer lewat nomor rekening 122-00-0002497-9, Bank Mandiri Cabang Rumah Sakit Cipto Mangukusumo, atas nama Pusat Krisis Terpadu.Apa yang membuat Anda terus aktif di PKT?Saya kasihan dengan klien-klien, itu yang membuat saya hingga sekarang masih terus aktif. Sampai tahun 2005 saya dipilih menjadi Kepala PKT menggantikan Prof. Budi Sampurna.Apakah Anda masih praktik?Sampai saat ini masih di RSIA Hermina Depok dan RSIA HGA Depok. Selain di PKT, saya juga aktif di YPKP (Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan) dan PPKM (Perhimpunan Penyantun Kesejahteraan Mahasiswa) FKUI sebagai bendahara, lalu menjadi Ketua Female Obsgin dan juga tercatat sebagai salah satu staf pengajar FKUI.Bagaimana dukungan suami dan anak-anak?Alhamdulilah, suami dan anak-anak mendukung semua aktivitas dan pekerjaan saya, tidak pernah menghalang-halangi.Bagaimana cara Anda mendidik anak-anak?Mendidik anak sekarang memang susah. Jadi, caranya adalah menceritakan apa yang terjadi dan dialami oleh klien saya. Nah, dari contoh kasus itu mereka bisa mengambil kesimpulan sendiri.

EDWIN YUSMAN F