Senyum Lebih Dini = Bayi Cerdas?

By nova.id, Sabtu, 31 Maret 2012 | 22:09 WIB
Senyum Lebih Dini Bayi Cerdas (nova.id)

Pendapat yang mengatakan bahwa bayi yang bisa tersenyum lebih dini menandakan ia anak yang cerdas, tak sepenuhnya benar. Ada 4 faktor, kata dr. Tjhin Wiguna, Sp.KJ, dari FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, yang harus dinilai untuk melihat normal-tidaknya pertumbuhan dan perkembangan anak. Yaitu, gerakan kasar, gerakan halus, kemampuan komunikasi, sosial, dan kemandirian. "Kemampuan anak tersenyum hanya bagian dari kemampuan sosial dan kemandirian." Jadi, jelas Tjhin, kemampuan tersebut tidak bisa menggambarkan kecerdasan anak.

Bayi usia 2 bulan, lanjutnya, sudah bisa senyum. Itulah senyum sosial pertama yang biasa dilakukan bayi pada orang terdekatnya yang selama ini ia dengar suaranya. Bisa ayah, ibu, atau pengasuhnya."Senyumannya juga menandakan bahwa ia sudah bisa melakukan kontak dengan lingkungannya."

Diakuinya, kemampuan kontak sosial merupakan salah satu unsur kecerdasan. "Tapi tetap tak bisa menentukan ia bakal tumbuh cerdas. Kita tidak bisa meramalkan kecerdasan anak hanya dari kecerdasan sosialnya saja."

METODE DDST II

Bila keempat perkembangannya tumbuh selaras dan sesuai dengan usianya, perkembangan bayi bisa dikatakan normal. Toh, lanjut Tjhin, "Dokter tidak pernah bilang jika perkembangannya selaras, maka perkembangan intelektualnya bagus." Sebab, cerdas-tidaknya anak harus melalui pengamatan dan observasi terus-menerus. "Tak cuma pada tahapan tertentu. Soalnya, bisa saja di usia 3 bulan bulan pertumbuhan kemampuannya normal, tapi di bulan berikutnya tidak." Misalnya, anak sudah bisa menegakkan kepala, tertawa, teriak, tapi kemudian tak mampu tengkurap/telentang, meraih mainan, dan sebagainya.

Karena itulah, saran Tjhin, orang tua harus senantiasa mengamati perkembangan anaknya. Kalau umur 6 bulan, misalnya, dia belum bisa memandang tangannya padahal seharusnya sudah mampu memasukkan biskuit ke mulutnya, "Berarti ada yang tidak beres. Entah karena pola asuh yang salah, kelainan di tubuh, atau terjadi gangguan penyakit genetik lainnya, seperti sindroma down, autis, dan lainnya." Sangat bijaksana jika orang tua memeriksakan bayi pada ahlinya sehingga bisa ditangani sedini dan setepat mungkin.

Biasanya, untuk memantau telat-tidaknya perkembangan anak, digunakan sistem rate, yaitu dengan metode Denver Developmental Scaling Test (DDST) II yang memiliki range sebagai batas toleransi. Misalnya, usia 6-7 bulan, 90 persen anak sudah bisa duduk tanpa berpegangan. Walaupun demikian, masih ada anak yang belum bisa melakukannya dan hal ini masih dapat ditoleransi.

Perkembangan kemampuan pun harus sesuai dengan perkembangan fisiknya. Misalnya, anak yang sudah bisa mengangkat kepalanya, berarti lehernya pun sudah kuat menahan beban. "Biarkan anak berkembang sesuai kemampuannya. Jangan malah memaksa mendudukkannya padahal tulang-tulangnya belum kuat, misalnya," papar Tjhin. Lakukan pula stimulasi agar perkembangannya lancar. Misalnya, jika anak sudah bisa pegang mainan, latih cara memegang yang baik.

KALAU MAU CERDAS, SIAPKAN SEJAK DI KANDUNGAN

Untuk mempersiapkan anak cerdas harus dilakukan sejak hamil. Mulai dari masalah kecukupan gizi, persiapan mental, serta pemberian rangsangan pada anak sejak dikandungan. Pada usia kehamilan 3 bulan, janin sudah bisa mendengar dan mampu merasakan elusan tangan ibu atau ayahnya.

Yang jelas, tegas Tjhin, gizi sangat berperan untuk mencapai pertumbuhan badan optimal. Termasuk pertumbuhan otak yang sangat menentukan kecerdasan seseorang. Masa pertumbuhan otak tercepat terjadi pada trimester akhir kandungan sampai bayi berusia 18 bulan. Setelah itu, otak masih tetap tumbuh tapi kecepatannya semakin berkurang hingga terhenti di usia 5 tahun. Jelas, usia balita sangat rawan terhadap kondisi-kondisi kurang gizi yang amat berpengaruh terhadap perkembangan otaknya.

Irfan