Arifan Nas, Calon Pengantin "Dipaksa" Bingung Pilih Busana

By nova.id, Jumat, 11 April 2008 | 11:35 WIB
Arifan Nas Calon Pengantin Dipaksa Bingung Pilih Busana (nova.id)

Arifan Nas Calon Pengantin Dipaksa Bingung Pilih Busana (nova.id)

""

Apa kelebihannya?

Kenapa tertarik menjadi seorang desainer?Saya orang yang suka keindahan. Kebetulan keluarga besar saya suka seni. Kami sembilan bersaudara, saya anak nomor dua, semua suka seni. Ada yang suka main gitar, menari, menyanyi dan seterusnya. Kelak, kesukaan pada seni ini dibisniskan. Saudara saya ada yang punya band, sanggar tari, jadi dekorator.Semasa remaja di Riau, seni yang saya geluti juga sudah banyak. Saat SMA saya ikut sanggar tari, teater, dan beberapa kali ikut lomba nyanyi. Bahkan, pernah menang lomba nyanyi se-Riau. Saya berpikir, bila saya terus tinggal di Riau, lingkup seni saya pastilah terbatas. Itu sebabnya, tahun 1994, saya ke Jakarta dengan pilihan menjadi desainer fashion. Pertimbangan saya, dengan jadi desainer, saya bisa berkarya dalam waktu yang panjang.Apa yang Anda lakukan di awal datang ke Jakarta?Modal saya ke Jakarta hanya keberanian. Nah, untuk memenuhi cita-cita, langkah awal saya harus bekerja di tempat fashion. Saya melamar di butik Charles Jordan dan diterima sebagai penjaga butik. Karena memang suka, saya cepat beradaptasi. Wawasan saya mulai terbuka. Saya mulai tahu merek-merek terkenal seperti Etienne Aigner, Charles Jordan, Christian Dior, Gucci.Saat itulah saya berteman dengan Vicky, manajer Charles Jordan. Vicky pintar menggambar fashion. Dia belajar secara otodidak. Saya bilang, kenapa dia tidak mewujudkan gambar dengan mencari penjahit. Dari situ, kami sering diskusi. Lalu saya berhenti bekerja untuk dapat sekolah lagi.Setahun sekolah di Susan Budiharjo, saya bisa menggambar, membuat pola, menjahit. Berbekal pendidikan itu, saya dan Vicky membuka perusahaan di Petojo, Jakarta Pusat. Kami sepakat memberi nama Vick N Van, singkatan nama kami berdua. Modalnya patungan dari hasi tabungan. Kami membuat baju pesta dan baju kantor. Kami bekerja sama dengan dua penjahit dan seorang tukang potong.Bagus, ya, perkembangan usaha Anda?Ya. Strateginya, Vicky tetap kerja di butik agar bisa in charge dengan butik. Selain itu, juga kenal dengan beberapa selebritis seperti Maudy Kusnaedi dan Mayang Sari. Mereka kami tawari juga produk Vick N Van. Rupanya mereka suka. Tak disangka, usaha kami cepat berkembang. Kami pun sanggup membuka ruko di Pintu Air, Pasar Baru.Saat itu, kami memegang seragam beberapa bank sampai bertahun-tahun. Selain itu, kami juga masuk departement store seperti Lotus, Rimo, Pasaraya. Yang kami tawarkan tetap baju kantor dan gaun pesta. Akhirnya, pesanan private lebih dominan. Kami sampai kewalahan. Waktu itu, departement store kami stop. Kami hanya terima private dan seragam. Untuk private, harganya sangat menjanjikan, sampai puluhan juta rupiah.Sering ikut acara fashion?Tentu saja. Dari sana, saya banyak belajar. Antara lain ketika saya dan Vicky belum banyak pengalaman, kami ikut Bali Fashion Week (BFW) mengusung kebaya, gaun malam, dan bridal rancangan kami. Di acara itu, kami bertemu buyer dari luar negeri, seperti Italia, Libanon, Dubai. Mereka mengagumi karya kami, tapi kendalanya ada di konsep desain. Karena belum punya pengalaman di luar negeri, desain kami masih selera lokal.BFW berikutnya saya ikut lagi dengan berkaca pada pengalaman sebelumnya. Rancangan saya sudah ada warna internasional, tapi tetap dengan sentuhan etnik Indonesia. Eh, ada benturan lagi, yaitu soal harga. Karena saya bikin private, tentu harganya mahal. Buyer ingin membeli dalam jumlah banyak dengan harga murah. Saya oke, tapi Vicky tidak. Tahun 2003, saya dan Vicky jalan sendiri-sendiri. Saya memakai nama N Van. Kemudian, saya juga banyak belajar dari pengalaman saat ikut Hongkong Fashion Week (HFW)Bagaimana ceritanya?Dengan sponsor BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional), saya bersama tujuh desainer lain termasuk Sebastian Gunawan, Didi Budihardjo, dan Stephanus Hammy, mengikuti HFW. Sebelum pergi, saya pelajari dulu, negara mana yang kira-kira cocok dengan style saya. Dari pengalaman sebelumnya, yang suka adalah Italia, negara Timur Tengah, dan Yunani. Saya fokus ke tiga wilayah ini, mulai dari apa maunya mereka, sampai ke persoalan harga. Hasil kerja saya enggak sia-sia. Bahkan, ada buyer dari Jepang dan Korea yang tidak saya targetkan. Pulang dari Hongkong, saya batasi tidak mau terima order terlalu banyak. Saya mencoba selusin dulu agar bisa tepat waktu.Tahun 2007 ketika saya ikut HFW lagi, saya juga berhasil. Namun, saya jadi lebih paham, ternyata untuk cita-cita ekspor, perlu modal besar. Betapa tidak, buyer tidak lagi pesan selusin, tapi 60 lusin. Itu pun jangka waktunya hanya 60 hari. Tidak mungkin saya sendiri yang bekerja.Lalu ?Tahun itu juga saya bergabung dengan PT Liza Christina. Sebelumnya, PT Liza tidak punya desainer untuk fashion ladies. Setahun ini kami membikin program untuk divisi baru. Jadilah, brand Estrella yang menjadi bridal house. Kami juga buka Bridal Factory untuk pasar ekspor. Bila Estrella untuk private, Bridal Factory kami arahkan ke produk massal.Apa bedanya?Harga, bahan, desain tentu saja berbeda. Harga di Estrella mulai Rp 5 juta, sedangkan Bridal Facory mulai dari Rp 700 ribu - Rp 5 juta. Untuk Bridal Factory, desainnya tidak menuntut pembuatan yang lama. Pernik-pernik juga lebih sederhana.Usaha bridal, kan, sudah banyak. Apa keunggulan Estrella?Sebelumnya sudah saya pelajari, bridal di Indonesia pada umumnya basic-nya make up dan fotografi. Hanya sedikit yang yang basic-nya desainer. Peluang ini yang saya manfaatkan. Karena saya kuat di rancangan, inilah yang saya tonjolkan. Orang yang datang ke Estrella saya buat bingung memilih baju karena semua bagus. Rupanya benar, beberapa kali ikut pemeran, Estrella menunjukkan hasil yang bagus sekali. Meski Estrella termasuk pendatang baru, peminatnya sudah banyak.Sekarang ini, kegiatan saya mulai Senin - Jumat di pabrik di Sukabumi, sedangkan Sabtu - Minggu, saya menemui klien di butik kami di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kebetulan saya punya rumah di Sukabumi dan Karawaci. Klien yang datang sehari minimal 10 orang. Bahkan, tak jarang yang datang berombongan. Kalau sudah begitu, saya sering sampai tak sempat makan.Apa, sih, kelebihan rancangan Anda?Kata costumer, kelebihan saya di cutting. Busananya langsung enak dipakai. Kedua, saya sendiri bersifat perfeksionis. Karena itu, yang saya tonjolkan adalah jasa pelayanan saya. Saya ingin klien tampil sebagus-bagusnya di hari perkawinan yang istimewa itu.Bagaimana Anda merancang untuk klien?Pertama melihat karakter pemakai. Dari interview, saya tahu karakternya feminin, maskulin, sederhana, atau ingin wah habis. Saya juga melihat posturnya. Yang jelek ditutupi, bagusnya ditonjolkan. Misalnya ada klien yang kurus dan tinggi. Supaya tubuhnya bagus, saya tambah kerutan dan bahan agak tebal. Selanjutnya, saya tanya tema dan tempat pesta. Acara di gedung, rumah, restoran, berbeda pula karakter bajunya.Klien juga ingin busana sesuai tren?Yang jelas, orang yang mencari desainer, berarti mereka sudah mengerti fashion. Mereka pun mengikuti perkembangan mode. Hanya saja, jangan sampai mereka menjadi korban mode. Tidak semua tren yang berkembang, cocok untuk klien. Sekarang ini, kan, trennya kerah agak tinggi. Pertanyaannya, apakah sesuai dengan leher klien. Lalu, tren sekarang busananya cukup panjang. Kalau kliennya berpostur pendek, tentu saja busana panjang ini tidak cocok. Saya sarankan pada klien, lebih baik yang dipakai tren warna saja.Sekarang ini berapa kapasitas produksi?Khusus untuk Estrella, satu hari bisa mencapai selusin dengan kategori sulit. Ke depan, saya bermimpi ingin memberi andil dalam industri fashion kita. Saya ingin nama N Van setara dengan nama merek yang sudah mendunia.

Henry Ismono