Allan Sebastian, Susahnya Pindahkan Kairo ke Semarang

By nova.id, Senin, 31 Maret 2008 | 08:22 WIB
Allan Sebastian Susahnya Pindahkan Kairo ke Semarang (nova.id)

Usianya baru 30 tahun. Tapi, prestasi di bidang art director layar lebar patut diacungi jempol. Karya terakhirnya, Ayat-Ayat Cinta diakui seperti menggarap lima proyek film sekaligus.Film Ayat-Ayat Cinta (AAC) sukses di pasar.Sudah menduga sebelumnya?Sejak masih dalam pengerjaan, saya sudah yakin film ini bakal bagus.Apa dasar keyakinan Anda?Setiap selesai syuting, Mas Hanung (Bramantyo, sutradara AAC), kan, selalu membikin guide editing. Dari situ saja, hasilnya sudah bagus. Baik dari gambar maupun pengadegan. Apalagi setelah melalui editing.Begitu sukses menjaring penonton, seperti "dibayar kontan", dong, dengan tenaga yang Anda keluarkan untuk membuat film ini?Saya akui, mengerjakan AAC seperti mengerjakan lima proyek film sekaligus. Baik dari setting lokasi mapun waktu syuting.Memang untuk AAC Anda harus mengeset berapa tempat?Hampir 900-an! Waktu juga molor. Dari rencana dua bulan, karena banyak hal, syuting molor hampir empat bulan.Oya... Apalagi ada perubahan lokasi dari Kairo ke Indonesia dan India, ya. Sempat kaget dengan perubahan itu?Dari awal saya sudah tahu. Pahit-pahitnya semua (syuting) dilakukan di Indonesia. Rencananya, kalau toh jadi syuting di Kairo, hanya syuting di luar. Syuting yang di dalam, tetap di Indonesia. Makanya begitu kepentok izin, akhirnya cari lokasi di Indonesia.Kenapa pilih Semarang untuk "memindahkan" suasana Kairo?Di Kota Lama (Semarang) arsitektur Eropa-nya masih ada dan terjaga. Sebenarnya ada pilihan di daerah Kota (Jakarta). Tapi tempat itu, kan, sering dipakai syuting. (Di Kota Lama, Semarang disetting sebagai dua pasar dan flat Fahri dan Maria. Kru AAC melakukan syuting di kota Lumpia ini selama dua minggu.)Perlu banyak perubahan setting agar sesuai dengan skenario?Banyak banget. Untuk syuting di Semarang, kami membawa sekitar 8 truk properti dari Jakarta. Semua pintu, jendela, dan teralis diganti agar sesuai dengan arsitektur di Kairo. Belum lagi tambahan lainnya, seperti teralis jendela flat Maria yang modelnya ram-raman itu. Itu harus bikin. Semua itu dilakukan biar menyerupai lokasi aslinya. Seperti juga menyediakan keranjang dan tali di flat Maria. Karena kebiasaan di sana, jika ingin memberikan sesuatu antar flat, pakai keranjang yang ditarik tali. (Dalam film AAC Maria menempati flat di atas flat Fahri. Beberapa adegan, Maria kerap memberi makanan atau minuman ke Fahri dengan cara menurunkan keranjang yang diberi tali)"Renovasi" lain?Cat juga harus diganti agar efeknya sesuai dengan kota Kairo. Di sana, kan, kebanyakan tembok punya warna-warna tone cokelat. Makanya kami mengecat ulang tembok dengan warna-warna turunan cokelat, seperti krem dan warna-warna bebatuan. Sementara aslinya, kan, temboknya warna putih.Dulu, lorong pasar di bawah Flat Maria dan Fahri adalah tempat pembuangan sampah. Tempatnya hancur-hancuran. (Untuk menyulap menjadi lokasi yang diinginkan, Allan dan 35 kru-nya harus membuang sampah yang totalnya 10 truk) Sementara lorong pasar satunya, itu jalan umum.Berapa lama untuk mengeset tempat itu?Untuk lorong pasar, cuma semalam. Karena aslinya tempat itu, kan, jalan untuk warga.Satu lagi, setting panggung tempat akad nikah Fahri dan Aisha juga unik.Dari mana muncul ide tersebut?Hanung saat itu minta akad nikah di panggung di atas kolam renang. Pernikahan juga harus menggambarkan suasana yang kolosal dan bertaburan bunga. Setelah corat-coret, dapat sketsa panggung model cincin. Memang jadinya unik. Lokasi akhirnya dapat di Rumah Maroko, Menteng, Jakarta.Untuk mengeset banyak tempat, kan, butuh ide dan properti yang banyak. Bagaimana Anda menangani?Ide biasanya muncul setelah diskusi dengan sutradara. Kadang, saat akan tidur pun muncul ide. Setelah itu, baru saya gambar. Memang saya sering gelisah, jika belum ada gambaran setting untuk syuting. Nah, saat gelisah itu, muncul ide yang kadang datangnya tidak terduga. Untuk membantu mewujudkan ide atau gambar, saya, kan, punya asisten dan bagian pengadaan properti. Nah, dari gambar itu, saya minta properti yang dibutuhkan. Dia yang cari. Bisa beli atau sewa. Kebanyakan, sih, propertinya sewa.Peran Art Director dalam film, kan, sangat penting. Bagaimana pengakuannya di Indonesia?Sudah diakui kok. Buktinya, sejak awal, kami selalu dilibatkan mulai dari hunting lokasi dan sebagainya.Tahun lalu nama Anda dua kali masuk nominasi penata artistik untuk Get Married (GM) dan Kamulah Satu-Satunya. Tapi dua-duanya gagal meraih piala Festival Film Indonesia (FFI). Kecewa?Sejak awal saya yakin kalah. Ada yang lebih pantas menerimanya.Kalau toh dapat, Anda akan menerima?Tetap akan saya terima. Untuk soal itu, saya tak mau ikut blok yang setuju atau enggak dengan FFI. Saya netral saja.Anda dulu, kan, penata artistik untuk pertunjukan panggung. Kenapa bisa beralih ke film?Saya dulu memang aktif di Teater Payung Hitam, Bandung. Dari situ saya kenal Kang Budi Riyanto, art director Garin Nugroho. Sejak tahun 2003 saya jadi asistennya Kang Budi. Pertama kali menggarap FTV karya Garin. Nah, ketika ikut mengerjakan film Garin, saya kenal dengan Hanung.Beda penggarapan setting panggung dan film?Prinsipnya sih, sama. Cuma beda media saja. Film lebih detail.Pertama kali menjadi art director untuk film apa?Lentera Merah, garapan Hanung. Sekitar tahun 2005.Berkat Hanung juga Anda mendapat tawaran AAC?Sebenarnya saya suruh memilih ikut GM atau AAC. Ketika saya tahu, GM syuting duluan, saya pilih GM. AAC diserahkan ke orang lain.Kenapa akhirnya bisa dapat dua-duanya?Mungkin karena AAC mundur pengerjaannya, jadi teman saya sudah mengerjakan film lain. Nah saat ditawari AAC, saya juga masih syuting Sundel Bolong. Saya menerima dengan dua syarat.Apa itu?Pertama, saya bisa mulai kalau film Sundel Bolong sudah kelar. Saya enggak mau konsentrasi terpecah di dua tempat. Kedua, saya harus ke Kairo untuk observasi. Selama empat hari, saya merasakan atmosfir dan kehidupan di Kairo.Punya cita-cita kerja di film?Waktu kecil saya malah punya cita-cita menjadi pelukis poster film yang bisa ditempel di bioskop. Saya memang suka nonton film, tapi lebih suka memandangi poster film.Ada bakat menggambar, ya?Sejak baca komik, saya memang jadi suka gambar. Kebetulan ayah saya juga suka menggambar. Tapi saya belajar sendiri.Itu sebabnya Anda kuliah di STSI Bandung?Sebenarnya, sih, tidak sengaja. Saat lulus SMA di Subang, saya sebenarnya tak niat kuliah. Ingin main saja. Maklum, waktu SMA sering mbolos. Kebetulan ada teman yang ingin daftar di ITB jurusan Desain Grafis. Saya ikut-ikutan. Tapi ternyata enggak diterima. Akhirnya, ada yang ngasih tahu, di STSI ada jurusan desain. Ternyata setelah diterima dan masuk, jurusannya desain untuk panggung. Jadi lucu saja. Akhirnya saya bisa menikmati. (Allan adalah seniman yang tak merokok. Lahir di Jakarta. Anak ketiga dari 5 bersaudara pasangan Sunarlin dan Dedeh ini menyelesaikan pendidikannya SD sampai SMA di Subang, Jawa Barat.)Anda mulai kerja di film sejak kuliah, pelajaran tidak terganggu?Jelas terganggu, dong. Wong sampai sekarang belum lulus! Saya sering malu ketemu dosen di kampus. Mereka minta saya cepat menyelesaikan kuliah.Masih ada niat?Masih, sih. Tapi, itu, kan, pilihan. Belum tentu kalau saya lulus, bisa seperti sekarang ini. Saya sudah mensyukuri, kok, apa yang saya dapat sekarang ini. Kalau toh, nanti saya bisa menyelesaikan kuliah, agar tak ada beban ke orangtua saja. Walaupun mereka memahami kondisi saya dan bangga dengan apa yang saya dapat sekarang ini.Rencana menikah?Belum ada. Kalau dapat jodoh sekarang, ya oke saja. Ha...ha...ha....Anda suka Otomotif ya?Dulu saya suka motor kuno. Sekarang beralih ke jeep lawas Land Rover. (Allan punya empat Land Rover yang kerap dipakai untuk off road. Mobil itu juga sebagai kendaraan sehari-hari.)Suka off road, hobi atau prestasi?Hanya hobi saja, kok. Kalau ada waktu main dengan teman-teman di Bandung.Sukrisna