Menjelaskan Perilaku Salah

By nova.id, Selasa, 20 Maret 2012 | 08:45 WIB
Menjelaskan Perilaku Salah (nova.id)

Rosdiana juga mengingatkan, agar kita memberikan benda pengganti ketika mengambil barang yang sedang dipegang si kecil karena khawatir akan dirusak. Ketika untuk ke sekian kalinya anak mengambil peralatan make-up, contohnya, sambil mengatakan tidak boleh karena barang-barang tersebut bukan mainan, berikan boneka atau mobil-mobilan kesukaannya. "Sehingga perhatian anak dapat teralihkan dan bukan tercabut begitu saja," sarannya.

HUKUMAN HARUS SESUAI

Menurut Rosdiana, memberikan "hukuman" untuk mempertegas perbuatan yang dilakukan anak adalah salah, boleh-boleh saja. Namun, semua ada tahapannya. Sebelum memberikan "hukuman" sebaiknya orang tua cukup mempertegas nada bicaranya. Biasanya anak batita sudah mengerti bahwa nada bicara yang tegas atau tinggi menandakan marah. Tapi ingat, tegas bukan berarti keras atau berteriak.

Kalaupun terpaksa harus memberikan "hukuman", sebaiknya dengan mengurangi kesenangannya. Misalnya dengan mengurangi waktu nonton TV, atau harus tidur siang sendiri dan sebagainya. "Itu pun sebaiknya dilakukan dengan membuat kesepakatan bersama sebelumnya. Dengan demikian, anak tidak merasa terbebani sementara orang tua sukses mengajarkan aksi-konsekuensi," ujarnya.

Yang tidak kalah penting, dalam penerapan "hukuman", orang tua harus konsisten. Misalnya ketika melarang anak memukul orang lain, orang tua sendiri malah justru mengingkari. Contohnya, "Kalau kamu pukul Adek atau Mbak lagi, Mama jewer ya."

Contoh semacam itu tentu akan jadi bumerang. Anak akan bingung, "Kalau aku tidak boleh memukul Adek, kenapa Mama boleh menjewer aku? "Dalam pikirannya yang masih serba konkret, apa yang dilihatnya itulah yang dipikirkannya. Contoh yang salah seperti itu tentu akan merugikan tatanan yang sedang dibangun orang tua," tandasnya.

Kita tidak perlu khawatir akan dianggap galak oleh anak. "Orang tua yang bisa bersikap tegas justru akan membuat anak menaruh hormat. Beda halnya kalau orang tua sekadar cerewet dan tidak konsisten, bisa jadi anak malah akan menganggap orang tuanya galak."

APA SAJA DAMPAKNYA?

Di usia ini anak sedang belajar banyak hal. Bila masalah ini diabaikan atau bila orang tua kelewat sering memaafkan kesalahan yang dilakukan anak, kelak ia akan mengalami banyak benturan. Misalnya sedari kecil anak tidak dikenalkan bahwa memegang-megang kepala orang melanggar norma kesopanan umum. Ke depannya ia akan menganggap tidak masalah memegang-megang kepala orang lain, termasuk orang yang lebih tua atau dituakan. "Jelas ini tidak benar," kata Rosdiana.

Benturan akan terjadi ketika lingkungan di luar rumahnya tidak memberikan toleransi seperti yang diberikan orang tua di rumah. Anak-anak yang mengalami benturan seperti itu akan tumbuh menjadi anak yang senantiasa bingung. Kebingungan seperti ini tentu tidak baik bagi anak. Apalagi di rumah pun bukan mustahil anak mengalami benturan.

Begitu juga pola asuh kedua orang tua dan kerabat dekat serta pengasuh yang tidak satu suara. Yang seperti ini tentu saja akan membuat anak bingung dalam menerapkan aturan bagi dirinya.

Coba bayangkan seandainya anak dibiarkan saja memegang-megang kepala orang lain dan setelah besar barulah orang tua melarangnya. Tentu saja anak bingung sehingga lebih sulit lagi untuk mengarahkannya. Risiko lain, dalam jangka pendek atau jangka panjang bukan tidak mungkin ia akan ditinggalkan teman-temannya karena dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun, tidak tahu etiket, semaunya sendiri, dan sebagainya.

Anak yang sejak kecil tidak dikenalkan mana hal yang salah dan benar kelak akan tumbuh jadi pribadi yang tidak respek pada lingkungan, cenderung seenaknya sendiri, egois, tidak peduli pada tatanan masyarakat, kurang bertanggung jawab, dan sederet dampak buruk lainnya.

Sebaliknya, tak hanya perbuatan salah yang harus dikenal anak. Rosdiana pun mengingatkan perlunya anak mendapatkan reinforcement (penguatan) bila melakukan perbuatan yang benar. Misalnya anak sudah bisa minum susu sendiri, orang tua harus memberikan penguatan pada perilakunya ini. "Wah, Adek pinter ya, sudah bisa minum susu sendiri." Dengan begitu anak mengetahui kalau tindakannya ini benar.

Marfuah