Anda dikenal sebagai konselor masalah perkawinan, tapi juga doktor yang meneliti masalah autis. Dua hal yang berbeda, bagaimana ceritanya?
Cita-cita saya memang ingin menjadi konselor perkawinan. Makanya setelah lulus dari Fakultas Psikologi UI saya mendalami masalah-masalah perkawinan. (Ina, begitu wanita ini disapa melanjutkan program Master, Marriage and Family Therapy Program, Purdue University, Indiana, USA.)
Tidak jeda untuk menikah atau mencari pekerjaan dulu?
Itu memang target hidup saya sejak SMP dan SMA. Setelah kelar S2 baru menikah. Bahkan rencananya saya ingin melanjutkan S3 ke luar negeri. Setelah anak yang bungsu paling tidak berumur 4 tahun. Kebetulan suami saya juga senang sekolah.
Kok akhirnya Anda melanjutkan program doktor di UI?
Sebagai manusia saya hanya bisa punya rencana. Setelah menikah, saya akhirnya punya anak. Ternyata perkembangannya tidak sesuai yang saya harapkan. (Pernikahan Ina dengan Agi Ginanjar, dikarunia sepasang anak, Atmarazka Ginanjar (14) alias Azka dan Atniraiza Ginanjar (12). Di Program Pasca Sarjana Fakultas, Ina yang juga menjadi staf pengajar Bagian Psikologi Klinis, Fakultas Psikologi UI berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul, Memahami Spektrum Autistik Secara Holistik.) Anak saya banyak mengalami gangguan dari kecil. Dia sangat hiperaktif, susah dipegang, enggan dipeluk, bicaranya sangat terlambat. Kata yang keluar dari mulutnya hanya "cicak". (Azka memang kerap diajari neneknya menyanyi Cicak-Cicak di Dinding).
Kepikiran Azka autis?
Enggak ada sama sekali. Apalagi dari obrolan dengan senior-senior saya di Fakultas Psikologi UI yang mendalami Psikologi Perkembangan mereka bilang, mungkin anak saya kurang stimulasi dan perlu terapi.
Kapan Anda tahu Azka Autis?
Saat usia dia hampir empat tahun, saya membawa ke psikiater. Secara enggak langsung psikiater tersebut bilang Azka autis.
Reaksi Anda ?
Kaget banget! Saya syok banget, marah, dan nangis. Ya, seperti ibu-ibu yang lain, jika mengetahui anaknya autis. Karena yang saya tahu saat itu, anak autis itu suka menyendiri, sementara Azka itu suka muter-muter ke orang lain. Memang, sih, kontak dengan orang lain sangat terbatas. Begitu juga jika ingin sesuatu, dia akan narik tangan ke orang lain, seperti anak autis lainnya.
Apa yang Anda lakukan selanjutnya?
Karena saya banyak belajar psikologi, maka saya cari-cari informasi soal autis, entah lewat buku maupun informasi dari orang lain. Ternyata benar, ciri-cirinya sama.
Kabarnya Anda juga bergabung dengan para orangtua yang punya anak autis?
Benar. Dari mereka saya tahu bagaimana cara penangannya. Komunitas autis itu, kan, kecil. Kebetulan waktu itu saya datang ke seminar soal keterlambatan bicara. Karena saya ingin tahu, kenapa sih, anak saya, kok belum bisa bicara.
Waktu Itu bertemu siapa?
Pertama kali bertemu Ibu Dyah Puspita. (Belakangan bersama Dyah, dan Uni, teman satu kelompok di Psikologi UI dan beberapa teman lainnya, Ita mendirikan Sekolah Autis Mandiga.) Kebetulan Ibu Dyah itu kakak kelas saya di Fakultas Psikologi yang juga punya anak yang menderita autis. Kemudian kami bertemu Dr. Melly Budiman yang bersama beberapa orang mendirikan Yayasan Autisme Indonesia.
Apa langkah selanjutnya?
Kebetulan yang bergabung di Yayasan Autis Indonesia banyak yang berpendidikan tinggi. Ada yang dokter, psikolog dll. Bahkan dokter tersebut pergi ke Amerika, belajar terapi. Setelah kembali, mereka mengajarkan ke kami. Ada yang konsultasi dengan ahli autis di Australia dan sharing ke orangtua yang punya anak autis.
Wah komunitas itu solid banget ya?
Mungkin karena anggotanya masih sedikit dan kami senasib. Ditambah lagi, kami belum tahu cara yang tepat bagaimana menangani anak autis. Kami sering telepon-teleponan, ketemuan dan sharing pengalaman, mencari alat-alat peraga, men-training terapis, dan menyelenggarakan seminar.
Kabarnya mendampingi anak autis itu capeknya luar biasa?
Yang membikin saya capek banget karena saya tidak tahu banyak soal autis. Semula saya mengira Azka itu tidak mau, bukan tidak bisa. Kalau kita melihat anak itu sebenarnya bisa melakukan sesuatu ternyata tidak bisa, kan, rasanya kesel banget dan pengen marah. Kadang dia minta sesuatu, tetapi kami tidak tahu apa yang diminta. Atau minta sesuatu yang tidak boleh, tetapi dia ngotot.
Akibatnya?
Biasanya dia akan tantrum, ngamuk, marah, dan nangis. Azka sehari bisa dua kali tantrum. Tapi yang paling bikin capek, jika dia sakit. Karena dia enggak mau makan dan minum obat dan hanya meringkuk. Kasihan banget. Saat dibawa ke rumah sakit dan diinfus pun, bikin uring-uringan. Karena dia enggak mau. Setelah berhasil dibujuk dan mulai sehat, ia maunya jalan-jalan meski masih diinfus. Jadi ayahnya menggendong, saya yang mendorong tiang infus sambil jalan-jalan. Karena Azka enggak suka perubahan lingkungan yang besar. Pokoknya, capek banget deh.
Bagaimana dengan terapinya? Itu juga bikin capek. Banyak orangtua yang melakukan terapi anaknya di beberapa tempat. Untuk Azka, sih, saya sendiri yang mencari, mengajari terapisnya dan mencari alat peraga dan harus menemani anak yang diterapi. Yang membuat saya tambah capek, Azka itu temperamennya keras dan malas belajar. Itu yang membuat saya dulu cepat marah.
Setelah Anda mendalami dan memahami masalah autis, ada perubahan sikap terhadap Azka?
Saya jadi berbalik. Apalagi setelah membaca otobiografi seorang penderita autis, akhirnya saya mengubah sikap saya pada Azka. Mulai dari cara bicara hingga harapan saya untuk Azka. Semakin saya bicara keras, Azka akan ngamuk. Kalau saya makin keras, dia akan makin ngamuk. Kan, kayak lingkaran setan.
Bagaimana dengan harapan kepada Azka?
Setelah dia usia lima tahun dan tak bisa mengejar teman sebayanya, maka saya tidak terlalu banyak menuntut dia terlalu tinggi. Soal pendidikan, saya juga realistis. Tak mungkin Azka masuk sekolah umum, tetapi sekolah special need. Saya lebih mementingkan kemandirian, dibanding terapi akademik. Ternyata anak saya jauh lebih tenang dan saya juga jauh lebih tenang. Awalnya sih, saya masih punya harapan, mungkin setelah diterapi ini, bisa belajar di sekolah umum. Setelah diterapi wicara, bisa bicara. Kenyataannya, anak saya tak bisa ngomong.
Ada orangtua anak autis yang memaksa anaknya masuk sekolah umum. Salahkah?
Wah saya tak bisa menyalahkan, nanti orangtuanya marah. Tapi kalau saya, yang penting dia mandiri dan bahagia. Makanya saya mendirikan sekolah Autis Mandiga (Mandiri dan Bahagia). Saya tidak memaksa Azka mencapai sesuatu yang bagi dia sangat sulit. Tapi saya ingin apa yang dia punya , bisa optimal dan minatnya tersalurkan. Sejak 4 tahun dia suka komputer. Dia lebih bisa mengungkapkan sesuatu lewat tulisan di komputer daripada ngomong.
Selain komputer, minat dia apa?
Main PS dan internet. Dia hapal tokoh-tokoh game PS 2 dan jenis-jenis mobil, lagu-lagu Disney Channel. Saya juga berusaha masuk ke dunianya dengan membantu menulis tokoh-tokoh game. Sekarang anak saya lagi mogok sekolah. Sudah dipaksa, malah berontak. Dijemput gurunya juga enggak mau. Ya sudah, stop sekolah dulu. Tapi di rumah, dia saya paksa untuk mandiri. Dia bisa mandi, membersihkan diri usai buang air besar, membersihkan kamar, menata sprei dll. (Selama ini Azka sekolah di sekolah khusus yang pengantarnya Bahasa Inggris.)
Jangan-jangan kelak Azka jago bikin game?
Amin....amin.
Bagaimana peran suami?
Tetap support dari belakang dan memercayakan ke saya. Dengan demikian saya bisa konsentrasi penuh, tanpa ada intervensi suami. Setelah Azka mulai dewasa, baru dia yang banyak mendampingi. Karena sesama lelaki, suami bisa menjadi teman main game, diskusi soal mobil dll.
Beralih ke Sekolah Mandiga, konsep sekolah ini bagaimana sih?
Saya bersama teman-teman mendirikan sekolah ini sebagai laboratorium. Jika metode yang kami terapkan berhasil, maka bisa sebagai modul sekolah lain. Selain terapi individual, di sini juga ada kelas. Jadi anak-anak bisa berinteraksi dengan temannya. Kalau temannya bisa mengerjakan sesuatu, maka yang lain bisa meniru.
Sekarang ini banyak sekali tempat terapi autis. Bahkan ada yang alternatif, ya?
Masalah autis memang bisa menjadi tambang uang. Makanya sekarang banyak sekali yang "main". Padahal menurut saya, terapi autis tidak instan. Tidak seperti sakit demam, begitu dikasih obat langsung turun pansanya. Penderita autis perlu terapi yang rutin dan berkesinambungan. Hasilnya pun kelihatannya sangat perlahan-lahan. Kalau memang ada yang bisa menyembuhkan autis dengan cepat, saya akan ikutkan Azka ke program tersebut. Meski bayarannya mahal, dan saya harus menjual apa pun yang saya punya.
Soekrisna